Kamis, 09 Mei 2013

OTOT


BAB III: OTOT


Ada Tiga Jenis Otot:
  1. Otot lurik (skeletal muscle); melekat pada tulang yang secara bersama-sama melakukan gerak.
  2. Otot polos (smooth muscle); mengelilingi rongga, seperti pada saluran pencernaan.
  3. Otot jantung; merupakan otot jantung.

Struktur Otot Lurik dan Serat Otot.
dan terang secara bergantian akibat adanya bagian serabut/filamen tebal (thick) dan tipis (thin) pada myofibril. Actin sebagai filamen tipis tertambat satu ujungnya pada Z line pada bagian akhir sarkomer, sedangkan ujung yang lain overlaping dengan filamen tebal myosin pada band A.

 
            Otot lurik terdiri serat otot berbentuk silinder (disebut sel otot), dihubungkan/ dilekatkan pada tulang pada tendon di sitiap ujungnya. Otot ini mempunyai bagian gelap



                  


Gambar 3.1. Otot lurik dan bagian-bagiannya



Mekanisme Kontraksi
Kontraksi pada otot melibatkan sel syaraf (syaraf motorik/afferent) sebagai rangkaian yang akan mengirimkan pesan dari afektor atau rangsangan terjadi dalam bentuk aksi potensial ke syaraf pusat dan kembali melalui syaraf efferent ke pusat reaksi (kontraksi/efektor). Aksi potensial yang sampai pada ujung axon sel syaraf (pertemuan sel syaraf dan sel otot; lihat Gambar 3.4) menyebabkan terlepasnya neurotransmiter asetil cholin (Ach). Neurotranmiter ini akan menempel pada reseptor pada membran sel otot dan kanal Na+ dan K+ terbuka, sehingga ion natrium masuk, terjadi depolarisasi dimana proses terjadinya aksi potensial dimulai (lihat bab syaraf).
Terjadinya aksi potensian tidak hanya pada sel otot saja tetapi juga merambat pada transverse tubule, dimana aksi potensian ini akan menyebabkan pelepasan ion Ca2+ dari lateral sacs dari sarcoplasmic reticulum. Ca2+ yang ada akan menempel pada troponin
 
 


       
                               
Gambar 3.2. Hubungan antara sel otot dan sel syaraf pada mekanisme kontraksi otot.
           
 
                           
Gambar 3.4. Pertemuan antra sel syaraf dengan sel otot.



sebagai bagian dari filamen tipis (gambar 3.6), dan gabungan antara ion kalsium dengan troponin menyebabkan tropomyosin bergeser sehingga tempat menempelnya cross bridge pada actin terbuka.
          Cross bridge yang berenergi dapat menempel pada bagian aktin yang telah terbuka, dan dengan cara membengkok akan mendorong actin untuk bergerak/bergeser. Setelah ATP (energy) habis maka ikatan cross bridge pada aktin akan lepas, dan ATP yang baru siap menggantikan untuk mengulang terjadinya gerakan cross bridge untuk menempel dan menggerakan aktin, seterusnya proses ini akan terulang sebagai suatu siklus (Gambar 3.7)

Gambar 3.5. Sarcoplasmic reticulum




 
        
            

Gambar 3.6. Perbesaran filamentipis (actin) dan bagian-bagiannya (troponin dan tropomiosisn), dan filamen tebal (myosin) dengan bagian cross bridgenya.



            Selanjutnya dapat dilihat gambar 3.7 di bawah sebuah siklus kontraksi pada sel otot, selama ion kalsium ada, dan sekali lagi keberadaan ion kalsium juga tergantung aksi potensial yang ada yaitu oleh adanya rangsangan. Habisnya Ca2+ oleh Ca-ATPase sehingga masuk kembali ke dalam sarcoplasmic reticulum maka tempat melekatnya cross bridge pada tropomiosin akan tertutup kembali, dan otot akan kembali ke posisi relax.

Metabolisme Energi dalam Otot
           Glikogen adalah sebagai sumber utama energi, setelah habis glukosa menggantikannya. Selanjutnya asam lemak dalam darah menjadi sumber utama setelah kedua sumber energi tersebut berkurang/habis setelah otot melakukan kerja cukup lama. Kelelahan (fatigue) terjadi setelah otot bekerja lama. Hal ini disebabkan kondisi asam akibat metabolisme terutama lemak.
           
 
         



                     
    
   
Gambar 3.7. Siklus kontraksi otot.



Sel otot sendiri bisa melakukan posporilase/penambahan pospor dari ADP menjadi ATP sebagai sumber energi. Pada gambar 3.8 berikut nampak bahwa ATP sebagai sumber energi untuk kontraksi. Sel otot melakukan posporilase/penambahan pospor dari ADP menjadi ATP sebagai sumber energi.
              Rigor mortis adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan kondisi fisik otot pada hewan yang baru mati/dipoting dimana secara fisik menjadi kaku dan apabila dimasak daging keras atau liat (tidak empuk).  Hal ini terjadi karena hewan yang mati
persediaan ATP secara bertahap berkurang dan akhirnya habis. Tanpa adanya ATP cross bridge bisa menempel pada aktin tapi tidak menghasilkan pergerakan dan tanpa adanya ATP baru, ikatan ini tidak bisa lepas dan baru bisa lepas setelah kurang lebih 48 jam.
 
Gambar 3.8. Posporilase ADP menjadi ATP sebagi sumber energi untuk kontraksi
 
                     

Mekanisme Kontraksi Serat Otot Tunggal
        Kontraksi identik dengan pergerakan cross bridge menggerakkan aktin seperti pada waktu diskusi sklus pergerakan cross bridge. Pergerakan cross bridge ini menghasilkan perbedaan panjang kontaksi yang tergantung pada besar kecilnya rangsangan yang terjadi, sehingga kontraksi tunggal ini dibedakan menjadi:
-          Kontraksi isometrik (isometric); menghasilkan tegangan tetapi tidak merubah panjang
-          Kontraksi bukan isometrik (an-isometric); otot memendek dan memanjang untuk memindahkan beban.
-          Kontraksi memanjang; beban pada otot lebih besar dari pada kemampuan otot (tension) untuk menahannya.
       Meningkatnya frekuensi aksi potensial pada sel otot juga akan menyebabkan meningkatnya respon tensi/regangan memendek dan memanjang dari sel otot tersebut sampai pada batas maksimal yang disebut dengan tetanic tension. Maksimal isometrik tensi tercapai pada saat antara aktin dan miosin terjadi overlep atau disebut batas optimal peregangan. Pemaksaan peregangan melebihi batas optimal atau peregangan kurang dari batas maksimal tersebut akan mengurangi panjang sebagai hasil peregangan dan juga menurunkan tegangan pada sel otot (Gambar 3.10). Sedangkan  kecepatan  otot memendek
tergantung pada beban yang dikenakan, semakin besar beban semakin cepat reaksi memendeknya, dan sebaliknya.         
            Berdasarkan kemampuan kecepatan maksimal untuk memendek dan kemam puan membentuk ATP, sel otot dibedan menjadi:

1.      Slow-oxidative fibers (serat otot dengan oksidasi lambat); kapasitas oksidasinya besar tetapi aktifitas ATPase pada miosin rendah.
2.      Fast-oxidative fibers; kapasitas oksidasinya besar dan aktifitas ATPase pada miosin juga tinggi.
3.      Fast-glicolitic fibers; kapasitas glikolitiknya besar dan aktifitas ATPase pada miosin juga tinggi.


Mekanisme Kontraksi Otot Keseluruhan (Whole-Muscle Contraction)
besarnya tensi, artinya jumlah sel otot yang menerima aksi potensial yang timbul pada sel syaraf mempengaruhi besarnya tegangan sel otot tersebut. Sebagai contoh, sel syaraf yang menuju satu unit jenis sel otot fast-glicolitic yang mempunyai jumlah sel yang banyak per unitnya dan besar diameternya menghasilkan regangan yang besar juga.

 
        Regangan (tension) yang terjadi pada kontraksi otot secara kesatuan tergantung pada besarnya tensi yang terjadi pada jumlah sel otot yang ada dan masing-masing besarnya tensi sel otot yang ada. Kesatuan otot yang sama dalam satu unit syaraf juga mentukan


                              

Gambar 3.9.  a. slow-oxidative fibers, b. fast-oxidative fibers dan c. fast-glicolitic fibers



Istilah recruitment dipakai untuk menunjukkan peningkatan besarnya regangan yang dikontrol oleh utamanya peningkatan jumlah sel syaraf pada sel otot. Unit syaraf pada slow oxidative fibers akan bekerja (recruite) terlebih dahulu pada aktivitas/gerakan yang lemah, kemudian secara berurutan meningkat ke unit syaraf pada fast-oxidative fibers dan fast-glicolitic fibers dengan meningkatnya aktivitas kerja yang terjadi pada otot. Kecepatan tegangan (tension) sekali lagi ditentukan oleh beban yang dikenakan pada otot, semakin berat beban yang diangkat misalnya akan menghasilkan kecepatan reaksi peregangan.


 
                 

Gambar 3.10.  Tetanic tension, merupakan hubungan aktin dan miosin dalam menghasilkan regangan (tension).


Otot Polos
         Mengapa disebut otot polos karena tanpa garis gelap (daerah Z line pada otot lurik) dan terang secara bergantian, hanya mempunyai satu inti sel dan kemampuan untuk membelah diri. Seperti pada otot lurik, otot polos juga terdiri dari actin dan miosin, untuk terjadinya kontraksi dalam mekanisme sliding-filamen (saling bertautan).
        Mekanisme kontraksi terjadi dengan diawali masuknya Ca2+ dalam sel dan bergabung dengan calmodulin yang ada. Gabungan antra kalsium-kalmodulin kemudian berikatan dengan enzim myosin light-chain kinase sehingga enzim tersebut menjadi aktip. Aktipnya enzim ini dengan bantuan ATP berguna untuk proses posporilase cross bridge miosin. Pada otot polos hanya miosin yang sudah mengalami posporilase dapat berikatan dengan actin untuk melakukan siklus kontraksi seperti yang terjadi pada otot lurik.
        Dua sumber Ca2+ pada sitoplasma (cairan dalam sel) yang kemudian untuk memulai terjadinya kontraksi berasal dari sarkoplasma retikulum (sarcoplasmic reticulum; lihat Gambar 3.5) dan berasal dari extra selluler, melalui proses aksi potensial pada dinding sel otot polos sehingga kanal/pori-pori untuk Ca2+ terbuka. Ketersediaan kalsium tidak secara otomatis memulai mengaktifkan proses sehingga cross bridge bisa menempel pada aktin, seperti yang terjadi pada otot polos, tetapi harus ada senyawa tertentu (hormon, neurotransmiter, muatan listrik dsb) sehingga mulai terjadi mekanisme siklus kontraksi.
        Perbedaan lain dengan otot lurik bahwa otot polos dapat memulai aksi potensial secara otomatis/spontan karena otot polos tidak mempunyai lokasi khusus pertemuan dengan sel syaraf.  Satu sel otot polos dapat mempunyai lebih dari satu akhir axon sel syaraf yang dapat melepaskan neurotransmiter untuk dapat menghambat atau meneruskan aksipotensial. Sel otot polos dapat berupa sel tunggal sebagai unit tunggal untuk melakukan kerja atau berupa kelompok sebagai multi unit. Skema pada gambar 3.11 berikut merupakan perbedan siklus kontraksi antara otot polos dan otot lurik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar