1. Pendahuluan
2. Klasifikasi
Antinutrisi
3. Antinutrisi
dalam Bahan Pakan Ternak
4. Strategi
untuk Pengelolaan Senyawa Antinutrisi
5. Komponen
Aktif dalam Bahan Pakan
6. Daftar
Pustaka
1.
Pendahuluan
Tanaman yang dapat dijadikan sumber bahan pakan umumnya memiliki
potensi untuk memproduksi senyawa kimia tertentu yang digunakan untuk
mempertahankan diri dari gangguan infeksi oleh jamur, bakteri dan insekta
ataupun predator lainnya. Akan tetapi senyawa tersebut jika terkonsumsi oleh
manusia atau ternak dapat mengakibatkan gangguan penampilan seperti
pertumbuhan, kesehatan, produksi, penurunan
Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH), pernafasan bahkan dapat
menyebabkan kematian pada waktu dan dosis tertentu. Hal ini dikarenakan
terhambatnya kerja enzim pencernaan tertentu. Senyawa-senyawa tersebut dikenal
dengan istilah antinutrisi.
Pengertian
antinutrisi itu sendiri menurut Janssen (1996) adalah senyawa yang terdapat
dalam bahan makanan yang dapat menyebabkan keracunan walaupun tidak menjadi
media atau senyawa aktif. Kumar (2003)
mendefinisikan antinutrisi sebagai senyawa yang dihasilkan di dalam bahan pakan
alami oleh proses metabolisme normal dan oleh perbedaan mekanisme seperti
pengtidakaktifan beberapa zat makanan, interfensi dalam proses pencernaan atau
pemanfaatan produk dari proses metabolisme bahan makanan tersebut dengan
memberikan pengaruh yang bertentangan terhadap zat makanan secara optimum.
Menjadi faktor antinutrisi bukanlah sesuatu yang hakiki dari senyawa-senyawa
tersebut melainkan tergantung kepada proses pencernaan zat makanan yang
dikonsumsi oleh ternak. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata
antinutrisi terdiri dari dua kata dasar yaitu anti dan nutrisi. Anti berarti tidak
setuju; tidak suka; tidak senang. Nutrisi memiliki 3 pengertian yaitu (1) proses
pemasukan dan pengolahan zat makanan oleh tubuh; (2) makanan bergizi; (3) ilmu tentang gizi. Oleh karena itu,
antinutrisi dapat diartikan sebagai senyawa bersifat racun yang dapat menghambat
proses pemasukan dan pengolahan zat makanan yang ada di dalam tubuh. Antinutrisi
tidak memberikan pengaruh keracunan tersebut secara langsung melainkan dengan
cara mengakibatkan defisiensi zat makanan atau dengan cara mengganggu fungsi
dan pemanfaatan zat makanan di dalam tubuh.
Jurgens (1997) menyatakan bahwa
didalam tanaman terkandung ribuan macam senyawa, tergantung dari situasi
mereka, yang dapat menguntungkan atau mengurangi pengaruh dari organisma yang
mengkonsumsi mereka. Senyawa-senyawa ini, kecuali zat makanan, diartikan
sebagai “allelochemicals” atau
senyawa yang menyebabkan kematian. Peneliti
lain menyatakan hal yang senada bahwa didalam
tanaman terdapat senyawa yang merupakan produksi sekunder dari proses
metabolisme zat makanan. Senyawa-senyawa ini untuk tanaman itu sendiri
berfungsi sebagai pencegah dari serangan predator. Akan tetapi bila terkonsumsi
maka akan mengganggu proses metabolisme zat makanan di dalam tubuh hewan,
ternak atau manusia yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu senyawa metabolit
sekunder juga merupakan kelompok senyawa antinutrisi. Akan tetapi sampai saat ini belum begitu dimengerti bagaimana
mekanisme dari senyawa metabolit sekunder dalam tanaman yang sebenarnya.
Menurut beberapa ahli terdahulu (Culvenor,
1970; Rosenthal dan Janzen, 1979) yang
dipahami sampai saat ini adalah bahwa senyawa metabolit sekunder yang terdapat
di dalam tanaman dapat mencegah atau membatasi serangan dari herbivora.
Antinutrisi dapat mempengaruhi
komponen pakan sebelum dikonsumsi, selama proses pencernaan di dalam saluran
pencernaan dan setelah penyerapan di dalam tubuh dengan cara menghambat proses
pemanfaatan atau fungsi dari zat makanan, khususnya protein, mineral dan
vitamin. Pengaruh negatif dari antinutrisi biasanya tidak mencerminkan senyawa
antinutrisi itu sendiri sebagaimana pengaruh langsung dari racun dalam bahan
makanan. Dampak dari adanya antinutrisi di dalam bahan makanan adalah
terjadinya malnutrisi atau kekurangan gizi atau kondisi gizi yang berada pada
batas bawah kebutuhan.
Pada akhirnya dapat
dinyatakan bahwa antinutrisi :
· Bersifat
racun tetapi bukan racun sehingga dapat melindungi tanaman dari predator /
sebagai pencegah dari serangan predator
·
Dapat menyebabkan
kematian / allelochemical
·
Jika terkonsumsi dapat
mengganggu proses metabolisme, pencernaan, penyerapan dan pemanfaatn zat
makanan.
·
Dapat mempengaruhi
komponen pakan sebelum dikonsumsi, selama proses pencernaan di dalam saluran
pencernaan dan setelah penyerapan di dalam tubuh dengan cara menghambat proses pemanfaatan
atau fungsi dari zat makanan, khususnya protein, mineral dan vitamin
·
Saat dikonsumsi maka pengaruhnya
tidak langsung, berbeda dengan pengaruh racun yang langsung terlihat.
·
Dampak akibat
mengkonsumsi antinutrisi adalah malnutrisi atau status nutrisi berada dibatas
bawah kebutuhan.
2.
Klasifikasi Antinutrisi
Berdasarkan asal senyawa maka
antinutrisi dapat dibedakan menjadi dua yaitu antinutrisi alami dan antinutrisi
sintetis (buatan). Janssen (1996) menyatakan bahwa berdasarkan zat makanan yang
terganggu proses pencernaan, penyerapan dan atau pemanfaatannya maka
antinutrisi dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu antinutrisi tipe A
(antiprotein), antinutrisi tipe B (antimineral) dan antinutrisi tipe C
(antivitamin). Kumar (2003) mengelompokkan faktor antinutrisi yang terdapat di
dalam daun pohon dan semak belukar menjadi 7 seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Faktor Antinutrisi yang
terdapat di dalam Daun Pohon dan Semak Belukar yang Umum digunakan sebagai
Pakan Ternak
Senyawa Antinutrisi
|
Spesies
|
1.
Asam
Amino non Protein
|
|
a.
Mimosin
|
Leucaena leucocephala
|
b.
Indospesin
|
Indigofera spicta
|
2.
Glikosida
|
|
a.
Cyanogen
|
Acacia giraffae
|
|
Acacia cunninghamii
|
|
Acacia sieberiana
|
|
Bambusa bambos
|
|
Barteria fistulosa
|
|
Manihot esculenta
|
b.
Saponin
|
Albizia stipulata
|
|
Bassia latifolia
|
|
Sesbania sesban
|
3.
Phytohemagglutinins
|
|
a.
Ricin
|
Bauhinia purpurea
|
|
Ricinus communis
|
b.
Robin
|
Robinia pseudoacacia
|
4.
Senyawa
pholypenolik
|
|
a.
Tannin
|
Semua tanaman
vaskular
|
b.
Lignin
|
Semua tanaman
vaskular
|
5.
Alkaloid
|
|
a.
N-methyl-B-phenetylamin
|
Acacia berlandieri
|
b.
Sesbanin
|
Sesbania vesicaria
|
|
Sesbania drummondii
|
|
Sesbania punicea
|
6.
Triterpen
|
|
a.
Azadiracthin
|
Azadirachta indica
|
b.
Limonin
|
Azadirachta indica
|
7.
Oksalat
|
Acacia aneura
|
Sumber : Kumar (2003).
2.1.
Antinutrisi
tipe A (antiprotein)
Antinutrisi tipe A adalah senyawa
antinutrisi yang terutama sekali mengganggu proses pencernaan protein atau
penyerapan asam amino dan pemanfaatan asam amino. Oleh karena itu disebut juga
antiprotein.
Antiprotein pada umumnya terdapat
didalam tanaman. Akan tetapi pada beberapa kasus, antiprotein juga terdeteksi
ada di dalam obat-obatan, antibiotik dan pestisida. Manusia yang cenderung
vegetarian atau hanya tergantung pada protein nabati sebagai sumber protein
dalam tubuhnya, umumnya mengalami masalah antiprotein. Hal ini paling banyak
terjadi pada masyarakat di negara berkembang. Di negara maju yang kesadaran
masyarakat akan pentingnya protein nabati dan hewani cenderung tidak mengalami
masalah antiprotein. Mereka mengkonsumsi protein nabati dan hewani dalam keadaan
seimbang untuk memenuhi kebutuhan akan protein setiap harinya. Di negara negara
Amerika, Eropa dan Australia, masyarakat mempunyai kebiasaan mengkonsumsi telur
rebus saat sarapan pagi sebagai sumber protein. Contoh antiprotein yang paling
terkenal adalah protease inhibitors dan lectins, keduanya merupakan protein. Protease
inhibitor menghambat enzim proteolitik (enzim pemecah protein). Lectins selain
sebagai antiprotein juga sebagai antimineral dan antivitamin.
2.1.1.
Protease
inhibitors
Protease
inhibitors atau senyawa-senyawa penghambat kerja enzim protease yaitu enzim
yang bertugas dalam penguraian protein melalui pengikatan bagian aktif dari
enzim tersebut. Antinutrisi jenis ini lebih banyak dijumpai dalam tanaman dan
sangat sedikit dijumpai dalam jaringan tubuh hewan. Walaupun penghambat
protease lebih banyak dijumpai dalam tanaman, tetapi penghambat enzim
proteolitik pertama kali dijumpai di dalam telur yang kemudian dikenal sebagai ovomucoid dan ovoinhibitor, kedua duanya mengakibatkan ketidak aktifan asam amino
trypsin. Selain itu di dalam telur khususnya putih telur dijumpai chymotrypsin inhibitor. Bahan pakan lain
yang juga mengandung trypsin dan/atau
chymotrypsin inhibitor adalah jenis
kacang kacangan (legum seperti kacang kedele), sayur-sayuran seperti alfafa,
susu, sereal seperti gandum dan umbi-umbian seperti kentang dan ubi jalar.
Penghambat
enzim protease yang terdapat di dalam kacang kedelai, kacang merah dan kentang ternyata
juga mampu menghambat enzim elastase yaitu enzim yang dihasilkan oleh kelenjar
pankreas. Enzim elastase merupakan enzim yang bekerja pada elastin, suatu
protein yang tidak larut yang terdapat di dalam daging. Oleh karena penghambat
protein adalah juga protein, maka penghambat protein juga tidak tahan terdapat
panas, umumnya sensitif pada panas lembab sedangkan pada panas kering biasanya
kurang efektif. Pemanasan kacang kedelai menggunakan autoclave selama 20 menit
pada suhu 115oC atau 40 menit pada suhu 107 sampai 108oC
merupakan titik yang tepat untuk menghancurkan penghambat ini secara maksimal.
Perendaman awal di dalam air selama 12 sampai 24 jam membuat perlakuan
pemanasan ini menjadi lebih efektif. Mendidihkan pada suhu 100oC
selama 15 sampai 30 menit sudah cukup untuk meningkatkan nilai nutrisi kacang
kedelai yang direndam. Walaupun demikian, ada beberapa penghambat enzim
protease yang relatif tahan terhadap panas. Sebagai contoh adalah penghambat
tripsin pada susu. Pada susu murni yang belum mendapat perlakuan apapun,
aktivitas tripsin dapat diturunkan 75 sampai 99%. Penghambatnya tidak
terpengaruh jika dipanaskan pada suhu sampai 70oC. Proses
pasteurisasi selama 40 detik pada suhu 72oC hanya mampu
menghancurkan penghambatnya 3 sampai 4%, pemanasan pada suhu 85oC
selama 3 detik menghancurkan 44 sampai 45% dan pemanasan pada suhu 95oC
selama 1 jam mampu menghancurkan sampai 73%. Penghambat enzim protease lainnya
yang juga relatif tahan terhadap panas adalah penghambat trypsin pada alfafa
dan kacang serendeng dan penghambat chymotrypsin pada kentang.
2.1.2.
Lectins
Lektin
adalah istilah yang umum digunakan untuk protein tanaman yang mempunyai sisi
yang sangat kuat terikat dengan karbohidrat. Lektin paling banyak dijumpai
dalam bentuk glycoprotein. Lektin yang terdapat di dalam kacang merah
kemungkinan berupa lipoprotein. Cara kerja lektin berhubungan erat dengan
kemampuannya mengikat sel reseptor. Lektin dapat menggumpalkan sel darah merah
sehingga disebut juga hemagglutinin. Lektin juga dapat mempengaruhi penyerapan
asam amino, lemak, vitamin dan thyroxine dari usus. Oleh karena itu lektin yang
terdapat di dalam tanaman khususnya di dalam legum selain termasuk antiprotein
(antinutrisi tipe A), juga termasuk antinutrisi tipe B (antimineral) dan C (antivitamin).
Lektin selain terdapat di dalam legum, juga terdapat di dalam kentang, mangga
dan gandum.
Beberapa
hasil penelitian memperlihatkan adanya gangguan penyerapan zat makanan dan
senyawa esensial lainnya di dalam usus. Hasil penelitian in vitro memperlihatkan
bahwa lektin di dalam kacang kacangan nyata mengikat sel-sel mukosa usus pada
tikus. Ternak yang mengkonsumsi kacang kedelai mentah memperlihatkan terjadinya
penurunan penyerapan asam amino, thyroksin dan lemak sementara itu terjadi
peningkatan kebutuhan lipophilic vitamin A dan D. Gangguan dalam penyerapan
thyroksin dapat menjelaskan adanya pengaruh goitrogenic dari kacang kedelai.
Akan tetapi, pengaruh ini mungkin dapat juga disebabkan oleh adanya gangguan
dalam penyerapan yodium, sebagaimana suplementasi mineral yodium dalam ransum
mempunyai pengaruh positif pada penyakit gondok.
Antinutrisi
lektin sangat nyata terdapat di dalam kacang merah, sementara itu yang paling
toksik ditemukan dalam biji jarak yang mengandung ricin penyebab nekrosis sel usus
halus. Sebagaimana protein pada umumnya, lektin juga tidak tahan terhadap panas
dan dapat ditidakaktifkan melalui panas lembab. Pengtidakaktifan menggunakan
panas kering ternyata kurang efektif. Aktivitas hemagglutinin pada beberapa
varitas pea dan spesies kacang kacangan menurun pada saat pembenihan. Contohnya
aktivitas lektin pada kacang kedelai menurun sebesar 92% selama hari pertama
pembenihan.
2.2.
Antinutrisi
tipe B (antimineral)
Antinutrisi tipe B adalah senyawa
antinutrisi yang terutama sekali mengganggu penyerapan atau metabolisme
pemanfaatan mineral. Oleh karena itu disebut juga sebagai antimineral. Antimineral
banyak terdapat didalam sayur sayuran, buah buahan dan biji bijian. Level
mineral dalam bahan makanan jarang yang menyebabkan pengaruh akut jika ransum
atau pakan atau makanan dalam keadaan seimbang zat makanannya.
Yang termasuk kedalam antinutrisi
tipe B adalah:
2.2.1.
Asam pitat
2.2.2.
Asam oksalat
2.2.3.
Glucosinolat
2.2.4.
Serat dalam makanan
2.2.5.
Gossypol
2.2.1. Asam Pitat
Asam
pitat adalah sejenis asam kuat yang dapat membentuk garam tidak terlarut dengan
berbagai jenis bivalent dan tervalent ion metal berat. Dengan cara itu asam
pitat akan menurunkan ketersediaan berbagai mineral dan unsur esensial lainnya.
Rumus bangun atau struktur kimia
asam pitat terlihat pada Gambar 1. Asam pitat pada manusia terbukti mempunyai
pengaruh negatif dalam penyerapan zat besi. Sebagaimana diketahui bahwa
penyerapan zat besi tergantung terutama sekali oleh level zat besi dalam pakan,
jumlah dan bentuk kimia zat yang diserap dan keberadaan asam askorbat. Asam
pitat mencegah kompleksasi antara zat besi dan gastroferrium, zat besi yang
terikat protein disekresikan dalam lambung. Hasil penelitian pada ternak dan
manusia menunjukkan adanya interfensi asam pitat dalam penyerapan magnesium,
zinc, tembaga dan mangan.
Pada berbagai bahan makanan
aktivitas enzim pitase dapat menurunkan level asam pitat. Pitase adalah enzim
yang terdapat di dalam tanaman yang mengkatalisis defosforilasi asam pitat.
Kacang kedelai memperlihatkan aktivitas pitase yang lemah. Rye mengandung
paling banyak enzim pitase aktif dibandingkan semua jenis biji-bijian sereal.
Aktivitas enzim pitase drastis menurunkan kandungan pitat selama pembuatan
roti. Defosforilasi asam pitat difasilitasi oleh peningkatan keasaman roti yang
mengakibatkan reaktivitas yeast. Enzim Pitase yang ditambahkan kedalam ransum
mengakibatkan tidak perlu ada penambahan fosfat ke dalam ransum. Dengan cara
ini juga ternak akan mengekskresikan sedikit fosfat yang mungkin berkontribusi
dalam menurunkan polusi lingkungan.
Gambar 1. Rumus bangun
asam pitat
Kandungan
asam pitat dalam bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Asam Pitat pada
Berbagai Bahan Makanan
Bahan
Makanan
|
Asam
pitat (mg%)
|
Bahan
Makanan
|
Asam
pitat (mg%)
|
Biji-bijian
|
|||
-
Gandum
|
170 – 280
|
Rye
|
247
|
-
Jagung
|
146 – 353
|
Beras
|
157 – 240
|
-
Barley
|
70 – 300
|
Oats
|
208 – 355
|
-
Sorghum
|
206 – 280
|
Buckwheat
|
322
|
-
Millet
|
83
|
Dedak gandum
|
1170 – 1439
|
Legum dan sayur-sayuran
|
|||
Kacang hijau ((Phaseolus
vulgaris)
|
52
|
||
Kacang (Phaseolus
vulgaris)
|
269
|
||
Kacang (Phaseolus
lunatus)
|
152
|
||
Green pea (Pisum sativum)
|
12
|
||
Pea (Pisum sativum)
|
117
|
||
Pea
(Lathyrus sativum)
|
82
|
||
Kentang
|
14
|
Wortel
|
0 – 4
|
Kacang kedelai
|
402
|
Lentil
|
295
|
Chick pea
|
140 – 354
|
Vetch
|
500
|
Kacang dan biji-bijian
|
|
||
Walnut
|
120
|
Hazelnut
|
104
|
Almond
|
189
|
Peanut
|
205
|
Cocoa bean
|
169
|
Pistachio nut
|
176
|
Rapeseed
|
795
|
Cottonseed
|
368
|
Bumbu dan penyedap rasa
|
|||
Millet
|
83
|
Caraway
|
297
|
Coriander
|
320
|
Cumin
|
153
|
Mustard
|
392
|
Nutmeg
|
162
|
Black
pepper
|
115
|
Pepper
|
56
|
Paprika
|
71
|
|
|
Sumber : Janssen
(1996)
2.2.2. Asam
oksalat
Asam oksalat (HOOC–COOH) dapat menyebabkan keracunan
sebagaimana senyawa antinutrisi lainnya bahkan pada manusia dapat menyebabkan
keracunan yang akut. Akan tetapi dibutuhkan dosis yang tinggi untuk menyebabkan
keracunan tersebut yaitu 4 – 5 g. Asam oksalat umumnya dijumpai pada makanan
tetapi jarang menjadi perhatian. Keberadaan asam oksalat sebagaimana asam pitat
dapat menurunkan ketersediaan kation bivalent yang esensial. Asam oksalat
merupakan asam kuat dan dengan alkali tanah, atau ion divalent lainnya dapat
membentuk garam yang sangat sulit larut di dalam air. Kalsium oksalat tidak
larut dalam air pada ph netral atau basa dan dapat dilarutkan dengan mudah pada
medium asam. Penelitian pada ternak dan manusia memperlihatkan adanya pengaruh
negatif dari pakan yang kaya oksalat terhadap penyerapan kalsium. Sayuran yang
kaya oksalat seperti bayam, seledri dan juga coklat memperlihatkan adanya
gangguan kesimbangan kalsium pada manusia yang mengkonsumsinya. Pengaruh
negatif dari asam oksalat terhadap penyerapan kalsium dapa diprediksi dari
rasio oksalat/kalsium dalam bahan makanan (Tabel 3). Bahan pakan yang rasionya
lebih dari 1 dapat menurunkan ketersediaan kalsium, rendah dari 1 belum
mempengaruhi penyerapan kalsium. Kalsium berikatan secara permanen dengan asam
oksalat oleh karena itu makanan dengan rasio oksalat/Ca2+ sama
dengan 1 bukanlah sumber kalsium yang baik walaupun bahan tersebut kaya akan
kalsium. Pengaruh oksalat dapat dipengaruhi oleh status gizi ternak atau
manusia, lama penelitian dan level konsumsi kalsium. sebagai contoh, tikus
tidak terpengaruh oleh oksalat setelah mengkonsumsi pakan mengandung 2,5%
oksalat tetapi pakan tersebut defisien akan kalsium, fosfor dan vitamin D. Oleh
karena itu penurunan penyerapan kalsium yang disebabkan oleh oksalat tidak akan
berbeda nyata sepanjang ketersediaan kalsium mendekati habis. Konsumsi pakan
yang kaya kalsium seperti susu sapi dan makanan laut sebagaimana pakan yang
kaya vitamin D direkomendasikan hanya jika sejumlah besar pakan kaya oksalat
terkonsumsi.
Tabel 3. Daftar Bahan
Makanan dengan Rasio oksalat/kalsium lebih dari 1
Bahan Makanan
|
Kandungan oksalat
(mg/100 g bahan)
|
Rasio oksalat/kalsium
(meq/meq)
|
Bayam
|
970
|
4,3
|
Bit (tanaman sumber
gula)
|
|
|
-
Daun
|
610
|
2,5
|
-
Akar
|
275
|
5,1
|
Coklat
|
700
|
2,6
|
Kopi
|
100
|
3,9
|
Teh
|
1150
|
1,1
|
2.2.3. Glucosinolat
Glukosinolat terkandung pada
berbagai tanaman, merupakan kelas dari thioglukosida yang strukturnya dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Glukosinolat
Sebahagian besar glukosinolat adalah goitrogenik (penyebab gondok atau
pembengkakan kelenjar). Ada tiga jenis gondok yaitu cabbage goiter
(struma), brassica seed goiter, and legume goiter.
Cabbage goiter atau gondok yang disebabkan oleh kelebihan mengkonsumsi sayur
kubis dimana goitrogen kubis menghambat penyerapan yodium dengan cara langsung
mempengaruhi kelenjar tiroid. Cabbage goiter dapat diobati dengan suplementasi
yodium. brassica seed goiter muncul akibat mengkonsumsi biji
tanaman brassica seperti kubis yang mengandung senyawa pencegah sintesis
tiroksin. Gondok jenis ini dapat diobati dengan pemberian hormon tiroid Legume
goiter adalah akibat dari goitrogen yang terdapat pada legum seperti kacang
kedelai dan kacang tanah. Berbeda dengan cabbage goiter, legume goiter bukan
dikarenakan keterlibatan langsung kelenjar tiroid melainkan adanya penghambatan
penyerapan yodium di usus atau penyerapan kembali tiroksin. Legume goier dapat
diatasi dengan terapi yodium. Ada 50 glukosinolat yang berhasil diidentifikasi
dari tanaman. Kubis, strawberi, bayam dan wortel terbukti nyata menurunkan
konsumsi yodium pada kelenjar tiroid manusia.
2.2.4. Serat
dalam makanan
Serat dalam makanan adalah komponen dinding sel
tanaman yang tidak dapat dicerna oleh sekresi endogenus pada saluran pencernaan
manusia dan unggas. Serat dalam makanan terdiri dari komponen senyawa pektat,
hemiselulosa, polisakarida, selulosa dan lignin. Selanjutnya, Tannin, protein
tidak tercerna, pigmen tanaman, wax/lilin, bahan silika dan asam pitat dapat
dikelompokkan dalam matrik serat. Bahan bahan ini bersifat bulky atau
pengeyang. Jumlah air terikat dapat menjadi 4 – 6 kali berat kering serat.
Bahan makanan yang mengandung 15% selulosa akan
menurunkan penyerapan nitrogen sebanyak 8 %. Interaksi antara serat dan gula
tidak menghasilkan reduksi penyerapan gula tetapi secara perlahan melepas gula
ke dalam aliran darah.
2.2.5. Gossypol
Gossipol adalah pigmen kuning yang terdapat pada tanaman
katun dan kandungan tertinggi terdapat di dalam biji katun. Gossipol ada dalam
3 bentuk tautometrik yaitu phenolic quinoid tautomer (I), aldehyde (II), dan hemiacetal (III). Gossipol adalah
antimineral dan juga antiprotein yang membentuk kelat tidak terlarut dengan
berbagai mineral esensial seperti zat besi dan mengikat asam amino khususnya
lisin sehingga gossipol dapat menurunkan ketersediaan protein dalam bahan
makanan dan mentidakaktifkan enzim-enzim yang penting. Pengolahan terbukti
dapat menghilangkan gosipol 80 – 99%. Pigmen diekstraksi dengan minyak dan
selanjutnya dihilangkan dengan penghalusan dan pencucian. Sekitar 0,5 – 1,2%
dari total gosipol umumnya tertinggal dalam pakan yang sudah diolah. Kurang
dari 0,06% adalah gosipol bebas. Penggunaan additif seperti FeSO4 dan Ca(OH)2 mencegah reaksi gosipol dengan lisisn selama perlakuan panas. Saat ini di
Amerika berhasil dibudidayakan tanaman katun yang bebas dari gosipol. Level
gosipol yang diperkenankan dalam makanan manusia adalah 0.045%.
2.3.
Antinutrisi
tipe C (antivitamin)
Antinutrisi tipe C adalah senyawa
antinutrisi yang mengakibatkan ketidak aktifan atau merusak vitamin atau yang
dapat meningkatkan kebutuhan vitamin. Oleh karena itu disebut juga antivitamin.
Antivitamin adalah kelompok senyawa yang terjadi secara alami yang dapat
mendekomposisi vitamin, membentuk senyawa kompleks yang tidak dapat diserap
atau yang mempengaruhi pencernaan vitamin atau pemanfaatan produk metabolisme.
Yang termasuk kedalam
antinutrisi tipe C adalah:
2.3.2. Asam
askorbat oksidase
2.3.3. Faktor
Antithiamin
2.3.4.
Faktor Antipyridoksin
Asam askorbat oksidase
Asam askorbat oksidase
adalah enzim yang mengandung tembaga yang memediasi oksidasi asam askorbat
bebas pertama menjadi asam dehidroaskorbat dan selanjutnya menjadi asam
diketogulonit, asam oksalit dan produk oksidasi lainnya. Asam askorbat oksidase
terdapat pada berbagai buah-buahan dan sayur-sayuran seperti ketimun, labu,
letus, pisang, tomat, kentang, wortel dan kacang hijau. Aktivitasnya bervariasi
tergantung jenis buah dan sayurannya. Enzim ini aktif pada pH 4 – 7 dan
temperatur optimum pada 38oC. Ketika sel tanaman diganggu atau
dipotong dan enzimnya dibuang maka kandungan vitamin C nya akan menurun sangat
nyata. Pada jus segar, 50% kandungan vitamin C nya akan hilang kurang dari satu
jam. Aktivitas enzim asam askorbat oksidase dapat dihambat secara efektif dengan
cara memutihkan warna buah-buahan dan sayur-sayuran.
Asam
askorbat dapat juga dilindungi dari aktivitas enzim asam arkorbat oksidase
melalui komponen aktif yang terdapat dalam tanaman seperti flavonoid.
Faktor Antithiamin
Antitiamin
adalah kelompok kedua antivitamin setelah asam askorbat oksidase. Antitiamin
berinteraksi dengan vitamin B1 atau tiamin. Antitiamin faktor dapat
dibedakan sebagai tiaminase, tannin dan katekol. Interaksi dengan vitamin B1
dapat mengakibatkan neurotoksik yang serius sebagai akibat dari defisiensi
vitamin B1. Secara normal manusia dan ternak tidak akan mengalami
masalah dengan antitiamin kecuali bila sudah terjadi defisiensi tiamin dan
ransum yang dikonsumsi rendah kandungan tiaminnya.
Tiaminase
dijumpai pada berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan laut,
kepiting dan kerang. Enzim antitiaminase akan memilah tiamin pada ikatan metil.
Tiaminase mengandung coenzim non protein, strukturnya mirip hemin, terdapat
komponen pigmen merah dari hemoglobin. Pemasakan akan merusak enzim tiaminase
pada ikan dan sumber-sumber lainnya. Faktor Antitiamin juga terdapat pada
tanaman. Tannin, terdapat pada berbagai tanaman termasuk teh dipercaya dapat
menghambat pertumbuhan ternak dan menghambat kerja enzim pencernaan. Tannin
terbukti nyata dapat menghancurkan atau merusak tiamin. Salah satu komponen
tannin adalah asam gallat.
Faktor Antipyridoksin
Tanaman
dan jamur yang dapat dikonsumsi mengandung antagonis piridoksin (sebuah bentuk
dari vitamin B6). Faktor antipiridoksin teridentifikasi sebagai
turunan dari hidrazin. Faktor antipiridoksin juga dijumpai pada jamur liar,
jamur yang dijual dan dapat dikonsumsi oleh manusia dan jamur Jepang Shiitake.
Jamur-jamur tersebut mengandung agaritin. Hidrolisis agaritin diakselerasikan
jika sel-sel jamur diganggu. Penanganan secara hati-hati pada jamur dan segera
diputihkan setelah pencucian dan pemotongan dapat mencegah proses hidrolisis.
3.
Antinutrisi dalam Bahan
Pakan Ternak
Di dalam tanaman selain terkandung senyawa yang
esensial yaitu protein, karbohidrat, lemak, beberapa vitamin dan mineral juga
terkandung senyawa lain yang disebut senyawa metabolit sekunder. Senyawa
metabolit sekunder terkandung dalam tanaman dengan struktur kimia yang berbeda
dan tidak sama antar genus dan spesies tanaman. Senyawa tersebut paling banyak
dijumpai pada tanaman atau hijauan di daerah tropis dibandingkan dengan hijauan
yang tumbuh di daerah temperate atau daerah beriklim sedang dan lebih banyak
dijumpai pada tanaman berbentuk pohon atau kayu dibandingkan dengan yang berupa
herba atau berupa rerumputan (Jones dan Lowry, 1990). Senyawa metabolit
sekunder pada umumnya bersifat sebagai antinutrisi.
Beberapa bahan pakan yang mengandung antinutrisi
dapat dibedakan sebagai berikut:
1. Biji-bijian
atau sereal seperti gandum, rye dan oat
2. Umbi-umbian
seperti kentang, ubi jalar, bengkuang dan singkong.
3. Hijauan
/ rumput seperti rumput pahit dan rumput gajah.
4. Leguminosa
herba seperti kalopo (Calopogonium
muconoides)
5. Leguminosa
pohon seperti pohon gamal, lamtoro, kapuk
6. Tanaman
berkhasiat obat seperti daun cabe-cabe, rumput mutiara dan mengkudu.
4.
Strategi untuk
Pengelolaan Senyawa Antinutrisi
Berbagai cara dapat dilakukan untuk mencegah
atau menurunkan pengaruh senyawa antinutrisi yang terdapat di dalam tanaman
atau hijauan terhadap ternak yang mengkonsumsi pakan mengandung tanaman atau
hijauan tersebut.
Cara yang dapat dilakukan
diantaranya:
a.
Menghindari penggunaan tanaman yang
mengandung antinutrisi atau pakan yang bermasalah.
Cara ini
merupakan cara yang paling sederhana untuk mencegah terkonsumsinya senyawa
antinutrisi.
b.
Memberikan supplemen yang dapat
mengatasi dampak senyawa antinutrisi
Ketika ternak menkonsumsi pakan yang
tinggi kandungan tannin yang sulit terurai (condensed tannin) maka konsumsi
ransum akan menurun. Kandungan condensed tannin yang tinggi dapat menurunkan
nilai pakan karena terjadinya penurunan ketersediaan zat makanan khususnya
protein dan penurunan kecernaan dinding sel (Barry dan Blaney, 1987). Jika
kondisi ini terjadi maka suplementasi Na, S, Ca dan N (urea) akan memperbaiki
penampilan ternak. Sebagaimana dilaporkan oleh Gartner dan Niven (1978),
Elliott dan McMeniman (1987) bahwa pertumbuhan wool dan pertambahan bobot badan
pada domba yang mengkonsumsi mulga (Acacia
aneura) meningkat dengan suplementasi Na, S, Ca dan N (urea) walaupun hasil
analisis proksimat daun mulga menunjukkan bahwa zat makanan dalam daun hanya
cukup untuk pertumbuhan. Hal ini diduga karena kalsium dalam bentuk kalsium oksalat
dan tannin (yang mengikat protein dan membutuhkan ekskresi sulfur sebagai
sulfat) merespon suplementasi mineral tersebut (Gartner dan Hurwood, 1976).
Kandungan tannin dalam legum herba
juga dapat diturunkan melalui peningkatan kandungan zat makanan dalam tanah
khususnya mineral P dan S dengan cara pemupukan seperti yang terdeteksi pada
tanaman Lotus spp., sainfoin (Onobrychis sativa) dan Desmodium
ovalifolium (Barry dan Blaney, 1987; Lascano dan Salinas 1982). Untuk legum pohon, pemupukan belum dapat menurunkan
kandungan condenses tanninnya.
c.
Memberikan Bahan Pakan yang Rendah
Kandungan Antinutrisinya
Cara ini dapat dilakukan untuk
memperkecil pengaruh antinutrisi terhadap ternak. Pemberian pakan di dalam
kandang dilakukan hanya jika bahan pakan tersebut rendah kandungan
antinutrisinya. Membiarkan ternak menggembala di padangan akan memberi peluang
lebih banyak pakan yang mengandung antinutrisi terkonsumsi.
d.
Menggunakan
mikroba rumen untuk mengurangi atau menghilangkan sifat racun yang terdapat di
dalam antinutrisi
Mikroorganisma
rumen akan mengkonversi produk metabolit yang bersifat racun menjadi tidak
racun. Dalam kondisi normal oksalat terlarut yang terdapat di dalam rumput
tidak akan mempengaruhi ternak ruminansia, akan tetapi jika sapi mengkonsumsi
pakan kering yang tanpa sengaja terdapat pada lahan pastur yang subur dan kaya
oksalat maka sapi tersebut akan matin karena terakumulasinya oksalat di dalam
ginjal (Jones et al., 1970). Bakteri
anaerobik seperti Oxalobacter formigenes dapat menkonversikan oksalat tersebut
menjadi CO2 dan format tergantung hanya pada sumber
energinya (Allison, 1985). Mikroorganisma
tersebut mengkonversikan senyawa racun atau bersifat racun menjadi senyawa yang
berguna untuk meningkatkan aktivitas ternak misalnya merobah isoflavones formononetin
dan daidzein, yang terdapat didalam oestrogenic clover menjadi equol dan O-methylequol melalui
dimetilasi dan reduksi (Cox, 1985). Isoflavones
formononetin dan daidzein merupakan senyawa yang
dapat menurunkan kesuburan pada domba betina.
5.
Senyawa Aktif dalam
Bahan Pakan
Senyawa aktif dalam pakan adalah senyawa yang
terdapat dalam bahan makanan yang mempunyai pengaruh positif terhadap ternak
atau manusia yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu peran dan fungsinya
berlawanan dengan antinutrisi. Pemakaiannya yang walaupun hanya sedikit dalam
campuran ransum tetapi mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi ternak misalnya
sebagai antibakteri, anti jamur, anti kanker, antitumor, antivirus atau
antimikroba lainnya. Keberadaan senyawa aktif ini biasanya menjadi sumber feed
additif (bahan pakan tambahan) dalam ransum. Senyawa tersebut dapat diperoleh
dari tanaman atau bahan pakan dengan cara memisahkan, memurnikan dan
mengekstraksi dari tanaman atau ternak. Tanaman yang mengandung senyawa aktif
biasanya dijadikan sebagai tanaman obat.
Beberapa tanaman atau bagian tanaman yang mengandung
senyawa aktif antara lain :
- Daun saga ((Abrusprecatorius
L.).
Telah ditemukan antibakteri yang mampu menghambat pertumbuhan Staphylococcus
aureus ATCC 52938, Staphylococcus beta hemoliticus
standar strain WHO, dan Streptococcus pneumoniae standar.
Selain itu juga ditemukan senyawa
pemanis yang disebut glycyrrhizin yang mempunyai kemanisan 30
- 100 kali manisnya gula. Apabila dibandingkan dengan daun saga manis dari
Miami, (Florida-USA) daun saga manis yang diperoleh di Bandung, (Indonesia),
ternyata mempunyai penampilan kromatografi lapis tipis yang berbeda untuk
senyawa-senyawa glikosidanya. Dengan cara fraksinasi bioakthitas terarah, telah
dapat diisolasi dan dikarakterisasi beberapa pemanis dari daun saga manis yang
berasal dari Bandung. Senyawa-senyawa pemanis tcrsebut sangat berpotensi sebagai alternatif gula untuk konsumsi penderita diabetes dan
obesitas.
- Daun
Bandotan.
Bandotan
(Ageratum conyzoides L., Gambar 3.) dalam bahasa Jawa
dikenal dengan nama wedusan dan babadotan dalam bahasa Sunda. Batang tanaman
bandotan membentuk percabangan dan berbulu, berkembang biak dengan biji dan
merupakan gulma pada tanaman tahunan dan musiman (Djauhariya dan Hernani,
2004). Anonim (2003) menyatakan bahwa Di Indonesia, bandotan merupakan tumbuhan liar dan lebih
dikenal sebagai tumbuhan pengganggu (gulma) di kebun dan di ladang. Tumbuhan
ini, dapat ditemukan juga di pekarangan rumah, tepi jalan, tanggul, dan sekitar
saluran air pada ketinggian 1-2.100 m di atas permukaan laut (dpl). Magdalena
(1993) menyatakan bahwa bandotan tergolong tergolong dalam tumbuhan semusim
tumbuh tegak atau bagian bawahnya berbaring, tingginya 30 – 90 cm dan
bercabang. Batang berambut panjang dan jika menyentuh tanah akan mengeluarkan
akar, sedangkan bunga majemuk berkumpul 3 atau lebih, berbentuk mata rantai
yang keluar dari ujung tangkai, warnanya putih dan panjang bongol bunga 6 – 8
mm dengan tangkai yang berambut. Buahnya berwarna hitam dan bentuk kecil. Jika
daunnya telah layu dan membusuk akan mengeluarkan bau yang tidak enak.
Herba
bandotan mengandung asam amino, organacid, pectic substance, minyak asiri
kumarin, ageratochromene, friedelin, ß-sitosterol, stigmasterol, tanin, sulfur,
dan potassium chlorida. Akar bandotan mengandung minyak asiri, alkaloid, dan
kumarin (Anonim, 2003). Djauhariya dan Hernani (2004) menyatakan bahwa bandotan
mengandung alkaloid, steroid, kumarin dan terpenoid. Dalam pengobatan, bagian
tanaman yang biasa digunakan adalah herba (bagian diatas tanah) dan banyak
digunakan untuk mengobati sakit perut dan gangguan pencernaan serta juga
digunakan untuk membakar lemak tubuh. Magdalena (1993) mendapatkan bahwa
ekstrak bandotan pada dosis 80% dapat menyembuhkan luka sama baiknya dengan
yodium povidon 10%. Handoko dkk. (2005) melaporkan bahwa penggunaan 5% gulma
bandotan memberikan pengaruh yang sama dengan kontrol terhadap penampilan
ternak dan dapat menurunkan kadar lemak abdomen yang diduga karena kandungan
senyawa aktif yang ada didalamnya.
Gambar 3. Bandotan
Hasil
analisis laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi
mendapatkan tepung bandotan mengandung zat makanan lebih baik dibandingkan
gulma berkhasiat obat lainnya seperti patikan kebo dan sidaguri. Tepung
bandotan mengandung 76,21% bahan kering, 10,23% protein kasar, 2,68% lemak
kasar, 16,25% serat kasar dan 4.640,33 kkal/kg energi bruto. Tepung patikan
kebo mengandung 72,48% bahan kering, 8,93% protein kasar, 2,72% lemak kasar,
18,18% serat kasar dan 5,258,17 kkal/kg energi bruto. Tepung sidaguri
mengandung 87,50% bahan kering, 10,04% protein kasar, 2,03% lemak kasar, 25,80%
serat kasar dan 4.802,10 kkal/kg energi bruto. Penelitian Haroen dkk. (2009)
menyimpulkan bahwa tanaman bandotan dapat digunakan dalam campuran ransum ayam
buras sampai taraf 2 % tanpa mempengaruhi penampilan ayam.
Hasil penelitian pengaruh ekstrak petroleum eter
daun bandotan dalam minyak kelapa
terhadap luka terbuka buatan menggunakan metoda Morton yang dimodifikasi.
Sebagai hewan percobaan digunakan empat puluh delapan ekor tikus putih betina
strain LMR dengan berat badan antara 100 sampai 170 g yang dibagi dalam enam
kelompok. Dosis pemeriksaan adalah 20; 40 dan 80% dan sebagai obat pembanding digunakan povidon yodium. Bahan uji
diberikan setiap hari dimulai hari pertama dan pengamatan dilakukan setiap hari
sampai hari kesepuluh setelah luka dibuat. Kelompok perlakuan dibandingkan
dengan kelompok kontrol yang diberikan minyak kelapa dan dengan kelompok yang
tidak diberikan apa-apa. Persentase penyembuhan luka dianalisa secara
statistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun bandotan dosis 20%
tidak memberikan efek penyembuhan luka sedangkan dosis 40% memberikan efek
penyembuhan luka yang nyata (P < 0,05) pada hari kelima sampai hari
kesepuluh. Ekstrak daun bandotan dosis 80% memberikan efek penyembuhan luka
yang nyata (P < 0.05) pada hari kedua sampai hari kesepuluh. Peningkatan
dosis bahan uji menunjukkan peningkatan efek penyembuhan. Efek penyembuhan luka
dari ekstrak daun bandotan dosis 80% tidak berbeda nyata dengan povidon yodium
10%.
- Bawang
Merah (Allium ascolanium L).
Telah dilakukan penelitian untuk
melihat mekanisme sari air bawang merah (Allium ascolanicum L.) dalam
melindungi hati, terhadap keracunan CCI4 pada tikus. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sari air bawang merah
mengandung zat yang dapat melindungi hati dari kerusakan akibat CCl4, dengan
cara mencegah pembentukan lemak hati dari serangan radikal bebas.
- Ekstrak
Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val).
Penggunaan ekstrak rimpang kunyit
dalam dosis 0,00 atau 5,00 atau 20,00 m/kg bb pada mencit hamil umur kehamilan
0 atau 1 atau 2 hari mempengaruhi perkembangan folikel ovarium.
- Ekstrak
Daun Dadap Ayam (Erythrina
orientalis Linn).
Hasil sari rebusan, fraksi
kloroform, dan fraksi sisa ekstrak daun dadap ayam dapat menghambat pertumbuhan
bakteri Staphylococcus aibus, Staphylococcus aureus, Streptococcus beta
hemolyticus dan Pseudomonas aeruginosa.
- Rumput
Mutiara (Hedyotis corymbosa (L)
Lamk)
Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L) Lamk) digunakan
oleh masyarakat sampai saat ini masih terbatas perlakuan pada manusia untuk
mengatasi gangguan pencernaan, kanker, radang usus buntu, mengobati penyakit
akibat infeksi oleh mikroba (bakteri, protozoa dan jamur) serta mengatasi
keracunan (Dalimartha, 2002). Rumput mutiara
secara in vitro terbukti memiliki aktivitas sebagai antibakteri diantaranya
terhadap bakteri Escherichia coli. Aktivitas paling aktif dijumpai dalam fraksi
etil asetat asam dan etil asetat basa diikuti dengan fraksi methanol dan
n-heksan (Nurhayati, dkk., 2006). Anonim (2002); Djauhariya dan Hernani (2004)
menyatakan bahwa rumput mutiara mengandung senyawa hentriacontan, stigmasterol,
asam ursolat, asam oleonat, ß-sitosterol, sitisterol, D-glukosida, p-asam
kumarat, flavonoid, tannin dan kumarin. Pada umumnya senyawa alkaloid,
flavonoid dan terpenoids memiliki kemampuan sebagai antimikroba (antibakteri,
antijamur dan antivirus). Sudarsono (1999) menemukan bahwa herba Hedyotis
corymbosa(L.) Lamk. tidak mengandung Kofein tetapi mengandung paling
sedikit 5 senyawa iridoid, satu di antaranya adalah Asperulosid. Hsu (1998)
melaporkan bahwa kemungkinan terdapatnya senyawa tertentu dalam rumput mutiara
yang dapat menghambat perkembangan tumor. Nurhayati dan Latief (2008; 2009)
menemukan bahwa senyawa yang aktif menghambat pertumbuhan bakteri E coli secara
in vitro adalah dari kelompok alcohol (4-metil-2-en-heksanol), kelompok steroid
(stigmasta-5,22-dien-3-ol) dan kelompok keton (tersier butil isopropil keton).
Dari ketiga kelompok senyawa tersebut yang paling aktif menghambat pertumbuhan
bakteri E. coli adalah kelompok keton.
- Mengkudu
atau Pace (Morinda citrifolia)
Mengkudu
atau pace atau Noni (Morinda citrifolia)
merupakan tumbuhan asli Indonesia yang pertumbuhannya sangat cepat yaitu pada
umur 1,5 – 2 tahun sudah dapat menghasilkan buah pertama. Mengkudu lebih
dikenal sebagai tanaman pekarangan dan digunakan hanya untuk kebutuhan
pengobatan keluarga. Banyaknya penggunaan mengkudu sebagai tanaman obat
dikarenakan mengkudu mengandung sejumlah zat aktif yang secara sinergi
menghasilkan efek yang baik bagi kesehatan tubuh seperti anti stress (Li dkk.,
2001), anti bakteri (Leach, dkk., 1988) dan anti kanker (Furusawa, 2003;
Johnson dkk., 2003). Bangun dan Sarwono (2002) melaporkan bahwa zat anti
bakteri yang terkandung didalam buah mengkudu antara lain antrakuinon, acubin
dan alizarin. Zat zat ini dapat digunakan untuk mengatasi masalah pencernaan
seperti radang saluran pencernaan. Wang dkk. (2002) melaporkan bahwa didalam
tanaman mengkudu terkandung berbagai senyawa aktif yang berfungsi sebagai
antibakteri Acubin, L-Asperuloside, Alizarin (didalam buah), Anthraquinone (di
akar) untuk melawan bakteri Pseudomonas aeruginosa, Stapilococcus aureus,
Proteus morgaii, Bacillus subtilis, Escherichia coli, Salmonella thyposa), dan scolopetin
yang dapat menghambat aktivias E.Coli.
Selain
mengandung zat aktif tersebut, buah mengkudu juga mengandung zat zat nutrisi
dan energi yang dibutuhkan oleh tubuh seperti protein, xeronin dan precursor
xeronin (proxeronin). Proxeronin akan diubah menjadi xeronin didalam usus oleh
enzim proxeronase dan zat zat lain.
Selanjutnya xeronin akan diserap oleh sel sel tubuh guna mengaktifkan
protein protein yang tidak aktif, mengatur struktur dan bentuk sel yang tidak
aktif. Oleh karena itu buah mengkudu dapat digunakan sebagai pakan ternak
(Nelson, 2003). Hasil analisis laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Jambi (2004) ditemukan bahwa tepung buah mengkudu mengandung 87,10
% bahan kering, 9,02 % protein kasar dan 4382 kkal/kg Gross energi. Akan tetapi
serat kasar yang dikandungnya juga cukup tinggi yaitu 24,99 %. Jus buah
mengkudu mengandung protein 11,6 % (Wina dkk., 2002) sedangkan tepung buah
mengkudu hanya 5,8 % (CTAHR, 2003) dan 9,02 % (Hasil analisis laboratorium
Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi, 2004). Penggunaan
mengkudu baik dalam bentuk tepung dalam ransum maupun jus dalam air minum pada
level 5 % belum mempengaruhi penampilan ternak tetapi pemberian lebih dari 5%
dalam ransum (Nurhayati dan Nelwida, 2010) atau lebih dari 7,5% dalam air minum
cenderung menurunkan bobot badan (Nurhayati, 2008)
- Lamtoro
Gung (Leucaena leucocephala).
Dalam
dunia peternakan lamtoro gung mempunyai potensi yang
besar sebagai sumber makanan ternak, karena lamtoro gung kaya akan gizi.
Kandungan zat-zat makanan yang terdapat pada biji lamtoro gung antara lain:
protein dan asam lemak. Isolasi senyawa kimia dari biji lamtoro gung ini
dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan Soxhlet dengan pelarut n- heksana.
Selanjutnya sisa bubuk sampel dikeringkan, setelah itu disoxhlet kembali dengan
menggunakan pelarut metanoi. Fraksi n-heksana yang diperoleh dilakukan dengan
menggunakan kolom kromatografi melalui 2 cara, yaitu yang satu tanpa pemberian
karbon aktif dan yang lainnya dengan pemberian karbon aktif. Fraksi metanol
kemudian diekstraksi dengan menggunakan pelarut n-heksana sebanyak 3 kali.
Hasil ekstrak metanoi tersebut kemudian dipekatkan dan dihasilkan ekstrak kasar
metanoi. Ekstrak kasar metanoi tersebut kemudian ditentukan karbohidratnya
dengan kromatografi cair bcrkine
didefinisikan komponen karbohidrat yang terdapat dalam ekstrak kasar
metanoi, yaitu maltosa, galaktosa dan
glukosa.
- Kumis
Kucing (Orthosiphon aristatus Miq).
Tanaman kumis kucing atau Orthosiphon
aristatus Miq merupakan salah satu
tanaman obat-obatan yang sudah terkenal di dalam negeri dan luar negeri.
Kandungan utama yang dikenal ialah kalium dan saponin, tetapi akhir-akhir ini
telah diketahui bahwa ada komponen yang bersifat anti bakteri diantaranya yang
paling dikenal ialah sinensetin.Dari hasil percobaan ini diketahui bahwa kadar
sinensetin yang tertinggi ialah dalam daun kumis kucing tua yang berbunga ungu
yang berasal dari K.P. Cibinong (0,365%, sedangkan yang terkecil berasal dari
daun muda tanaman berbunga putih dari K.P. Cibinong (0,095%).
6.
Daftar Pustaka
Allison,
M.J. 1985. Anaerobic oxalate-degrading bacteria of the gastrointestinal tract.
in: Plant Toxicology - Proceedings of the Australia-USA Poisonous Plants
Symposium, Brisbane, Australia, May 14-18, 1984, pp. 120-126.
Allison,
M.J. Mayberry, W.R., McSweeney, C.S. and Stahl, D.A. 1992. Synergistes
jonesii, gen. nov., sp. nov.: a rumen bacterium that degrades toxic
pyridinediols. Systematic and Applied Microbiology 15, 522-529.
Anggorodi,
R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Anonim,
2003. Bandotan (Ageratum conyzoides L.). Leaflet BPPT, Jakarta. Artikel internet.
http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=203 - 22k Downloaded 10 – 11
– 2008.
Anonimous.
2002. Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa (L)
Lamk.). Leaflet BPPT, Jakarta.
Anonimous.
2004. Rumput mutiara mengaktifkan sirkulasi darah. Republika 14 September 2004.
Bamualim,
A. 1984. The nutritive value of Leucaena leucocephala as a feed for
ruminants. PhD thesis, James Cook University of North Queensland, 167 pp.
Bangun,
A.P. dan Sarwono, B. 2002. Khasiat dan Manfaat Mengkudu. AgroMedia Pustaka,
Jakarta.
Barry,
T.N. and Blaney, B.J. 1987. Secondary compounds of forages. In: Hacker, J.B.
and Ternouth, J.H. (eds), Nutrition of Herbivores. Academic Press,
Australia, pp. 91-119.
Belitz,
H.-D. and W. Grosch, (Eds.). 1987. Food Chemistry. Springer Verlag, Berlin.
Blunt,
C.G. 1976. Preliminary cattle grazing trials on irrigated Leucaena
leucocephala and pangola grass in the Ord Valley N.W.
Australia. Proceedings of the Australian Society of Animal
Production 11, 10.
Blunt,
C.G. and Jones, R.J. 1977. Steer liveweight gains in relation to the proportion
of time on Leucaena leucocephala pastures. Tropical
Grasslands 11, 159-164.
Bray,
R.A., Hutton, E.M. and Beattie, W.M. 1984. Breeding leucaena for low-mimosine:
field evaluation of selections. Tropical Grasslands, 18, 194-198.
Cheeke,
P.R. 1989. Toxicants of Plant Origin Volume I Alkaloids. Florida: CRC Press,
Inc.
_______________.
Toxicants of Plant Origin Volume IV Phenolic. Florida: CRC Press, Inc.
Concorn,
J.M., (Ed.). 1988. Food Toxicology, Part A and Part B. Marcel Dekker Inc., New
York.
Cox,
R.I. 1985. Immuno physiological control of phyto-oestrogen toxicity.
In: Plant Toxicology - Proceedings of the Australia-USA Poisonous Plants
Symposium, Brisbane, Australia, May 14-18, 1984, pp. 98-108.
CTAHR
(College of Tropical Agriculture and Human Resources). 2003. Nutritional
analysis of Hawaiian Noni (Noni fruit powder). Internet article downloaded on
September 15, 2004. http://www.ctahr.hawaii.edu/noni/Research/nutritional_analysis.asp
Culvenor,
C.C.J. 1970. Toxic plants - a re-evaluation. Search 1, 103-110.
Dalimartha,
S. 2002. Tumbuhan obat untuk mengatasi keputihan. Cetakan II. Trubus Agriwidya,
Jakarta.
Djauhari,
E. dan Hernani. 2004. Gulma berkhasiat obat. Seri Agrisehat. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Dominguez-Bello,
M.G. and Stewart, C.S. 1990. Degradation of mimosine, 2,3-dihydroxy pyridine
and 3 hydroxy-4(1H) - pyridone by bacteria from the rumen of sheep in
Venezuela. FEMS Microbial Ecology 73, 283-289.
Elliott,
R. and McMeniman, N.P. 1987. Supplementation of ruminant diets with forage. In:
Hacker, J.B. and Ternouth, J.H. (eds), The Nutrition of
Herbivores. Academic Press, Australia, pp. 409-428.
Everist,
S.L. 1974. Poisonous Plants of Australia. Angus and Robertson,
Sydney, 684 pp.
Fennema,
O.R., (Ed.). 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York.
Furusawa,
E. 2003. Anti-cancer activity of Noni fruit juice against tumors in mice.
Proceedings of the 2002 Hawai’I Noni Conference. University of Hawaii at Manoa,
College of Tropical Agriculture and Human Resources : 23 – 24.
Gartner,
R.J.W. and Hurwood, I.S. 1976. The tannin and oxalic acid content
of Acacia aneura (mulga) and their possible effects on sulphur and
calcium availability. Australian Veterinary Journal 52, 194-196.
Gartner,
R.J.W. and Niven, D.R. 1978. Studies on the supplementary feeding of sheep
consuming mulga (Acacia aneura). 4. Effect of sulphur on intake and
digestibility and growth and sulphur content of wool. Australian Journal
of Experimental Agriculture and Animal Husbandry 18, 768-772.
Gibson,
G.G. and R. Walker, (Eds.). 1985. Food Toxicology — Real or imaginary
problems?. Taylor and Francis, London.
Gosting,
D.C., (Ed.). 1991. Food safety 1990; an annotated bibliography of the
literature. Butterworth-Heinemann, London.
Handoko,
H., Nelwida, dan Nurhayati. 2005. Pengaruh penggunaan gulma obat dalam ransum
ayam pedaging terhadap kandungan lemak
abdomen. Seminar hasil penelitian dosen Fakultas Peternakan Universitas Jambi,
Jambi.
Haroen,
U., Nurhayati, Insulistyowati, A., Berliana, S., dan Nelwida. 2009. Pemanfaatan
Limbah Penetasan Telur dan Bandotan (Ageratum conyzoides L) untuk Meningkatkan Daya Tahan Tubuh dan Performans
Ayam Buras. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional, Universitas Jambi.
Jambi.
Hathcock,
J.N., (Ed.). 1982. Nutritional Toxicology, Vol. I. Academic Press, London.
Hegarty,
M.P. 1982. Deleterious factors in forages affecting animal production. In:
Hacker, J.B. (ed.), Nutritional Limits to Animal Production from
Pastures. Commonwealth Agricultural Bureaux, Farnham Royal, UK, pp.
133-150.
Hegarty,
M.P., Lee, C.P., Christie, G.S., Court, R.D. and Haydock, K.P. 1979. The
goitrogen 3-hydroxy-4(1H)-pyridone, a ruminal metabolite from Leucaena
leucocephala: Effects in mice and rats. Australian Journal of
Biological Science 32, 27-40.
Hegarty,
M.P., Schinckel, P.G. and Court, R.D. 1964. Reaction of sheep to the
consumption of Leucaena glauca and to its toxic principle
mimosine. Australian Journal of Agricultural Research 15, 153-167.
Holmes,
J.H.G., Humphrey, J.D., Walton, E.A. and O'Shea, J.D. 1981. Cataracts, goitre
and infertility in cattle grazed on an exclusive diet of Leucaena
leucocephala. Australian Veterinary Journal 57, 257-261.
Hsu,
H.Y. 1998. Tumor inhibition by several components extracted from Hedyotis
corymbosa and Hedyotis diffusa. The International Symposium on the Impact of
Biotechnology on Prediction, Prevention and Treatment of Cancer. Nice, France.
October 24 - 27, 1998.
Johnson,
A., Hemscheidt, S.T. dan Csiszar, W.K. 2003. Cytotoxicity of water and ethanol
extracts of Morinda citrifolia (L)
against normal epithelial and breast cancer cell lines. Proceedings of the 2002
Hawai’I Noni Conference. University of Hawaii at Manoa, College of Tropical
Agriculture and Human Resources : 22.
Jones,
R.J. 1981. Does ruminal metabolism of mimosine explain the absence of Leucaena
toxicity in Hawaii? Australian Veterinary Journal 57, 55-56.
Jones,
R.J. 1985. Leucaena toxicity and the ruminal degradation of mimosine.
In: Plant Toxicology - Proceedings of the Australia-USA Poisonous Plants
Symposium, Brisbane, Australia, May 14-18, 1984, pp. 111-119.
Jones,
R.J. and Bray, R.A. 1983. Agronomic Research in the Development of Leucaena as
a Pasture Legume in Australia. In: Leucaena Research in the Asian-Pacific
Region. Proceedings of a workshop, Singapore, November 1982, pp. 41-48.
Jones,
R.J. and Jones, R.M. 1982. Observations on the persistence and potential for
beef production of pastures based on Trifolium
semipilosum and Leucaena leucocephala in subtropical coastal
Queensland. Tropical Grasslands 16, 24-29.
Jones,
R.J. and Lowry, J.B. 1984. Australian goats detoxify the goitrogen
3-hydroxy-4(1H) pyridone (DHP) after rumen infusion from an Indonesian
goat. Experientia 40, 1435-1436.
Jones,
R.J. and Lowry, J.B. 1990. Overcoming problems of fodder quality in
agroforestry systems. In: Avery, M.E., Cannell, M.G.R. and Ong, C.K.
(eds), Applications of Biological Research in Asian
Agroforestry. Winrock International, Morrilton, Arkansas,
USA, pp. 259-275.
Jones,
R.J. and Megarrity, R.G. 1983. Comparative toxicity responses of goats fed
on Leucaena leucocephala in Australia and Hawaii. Australian
Journal of Agricultural Research 34, 781-790.
Jones,
R.J. and Winter, W.H. 1982. Serum thyroxine levels and liveweight gain of
steers grazing Leucaena pastures. Leucaena Research Reports 3, 2-3.
Jones,
R.J., Blunt, C.G. and Nurnberg. 1978. Toxicity of Leucaena
leucocephala. The effect of iodine and mineral supplements on penned
steers fed a sole diet of Leucaena. Australian Veterinary Journal 54,
387-392.
Jones,
R.J., Seawright, A.A. and Little, D.A. 1970. Oxalate poisoning in animals
grazing the tropical grass Setaria sphacelata. Journal of the Australian
Institute of Agricultural Science 36, 41-43.
Jurgens,
M. H., 1997. Animal feeding and Nutrition. 8th edition. Kendall/Hunt publishing
company. Dubuque, Iowa, USA.
Kumar,
R., 2003. Anti-nutritive factors, the potential risks of toxicity and methods
to alleviate them. http://www.fao.org/DOCREP/003/T0632E/T0632E10.htm.
Leach,
A.J., Leach, D.N. dan Leach, G.J. 1988. Antibacterial activity of some
medicinal plants of Papua New Guinea. Sci. New Guinea 14 : 1 – 7.
Li,
Y-F., Yuan, L., Xu, Y-K., Yang, M., Zhao, Y-M. and Luo, Z-P. 2001. Antistress
effect of oligosaccharides extracted from Morinda
officinalis in mice and rats. Acta Pharmacol. Sin. 22 (12) : 1084 – 1088.
Lowry,
J.B., Maryanto, N. and Tangendjaja, B. 1983. Autolysis of mimosine to
3-hydroxy-4(1H) pyridone in green tissues of Leucaena leucocephala.
Journal of the Science of Food and Agriculture 34, 529-533.
Lu,
C,F. 1985. Basic Toxicology: Fundamentals, Terget Organs and Risk Assessment.
Toronto: McGraw-Hill International Book Company
Magdalena,
E. 1993. Tanaman Obat Keluarga. Penebar Swadaya, Jakarta.
Matthew,
J., Brooker, J.D., Clark, K., Lum, D.K. and Miller, S.M. 1991. Isolation of a
ruminal bacterium capable of growth on tannic acid. Australian Society for
Microbiology. Annual Scientific Meeting, Gold Coast, Australia Poster No. 59.
Nelson,
S.C. 2003. Morinda citrifolia L.
Internet article version 2003.11.29 of Permanent Agriculture Resources (PAR)
Holualoa, Hawaii. http://www.agroforestry.net
Nurhayai
dan Nelwida. 2010. Broiler chicken response on the ration containing Noni
(Morinda citrifolia) Meal. Jurnal Penelitian Universitas Jambi seri Sains. Vol
12 No. 2 Juli 2010 Hal. 35 - 41. ISSN : 0852-8349.
Nurhayati
dan M. Latief. 2008. Pemanfaatan Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa (L)
Lamk) sebagai Feed Additive dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Escherichia
coli di Dalam Saluran Pencernaan Ayam Pedaging. Laporan Penelitian Fundamental.
Dibiayai oleh Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dengan
Surat Perjanjian Nomor 007/SP2H/PP/DP2M/III/2008 Tanggal 6 Maret 2008.
Nurhayati
dan M. Latief. 2009. Isolasi Senyawa dan Uji Antibakteri Ekstrak Etil Asetat
Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa L (Lamk))
Terhadap Bakteri Escherichia. Jurnal
Bahan Alam Indonesia 6 (6) : 243 – 246.
Nurhayati,
M. Latief dan H. Handoko, 2006. Uji Antimikroba Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa) terhadap Bakteri dan
Jamur Penyebab Penyakit pada Ternak Unggas. Journal Biosfera 23 (3) : 137 –
143.
Nurhayati.
2008. Pengaruh pemberian jus buah mengkudu (Morinda citrifolia) dalam air minum
terhadap penampilan ayam broiler jantan. Jurnal Agripet Vol. 8 No. 1 April
2008. Hal. 39 – 44. ISSN : 1411 – 4623.
Pratchett,
D., Jones, R.J. and Syrch, F.X. 1991. Use of DHP-degrading rumen bacteria to
overcome toxicity in cattle grazing irrigated leucaena pastures. Tropical
Grasslands 25, 268-274.
Quirk,
M.F., Bushell, J.J., Jones, R.J., Megarrity, R.G. and Butler, K.L. 1988.
Live-weight gains on leucaena and native grass pastures after dosing cattle
with rumen bacteria capable of degrading DHP, a ruminal metabolite from
leucaena.Journal of Agricultural Science (Cambridge) 111, 165-170.
Raurela,
M. and Jones, R.J. 1985. Degradation of DHP in cattle in Papua New
Guinea. Leucaena Research Reports 6, 68-69.
Reddy,
N.R., M.D. Pierson. 1994. Reduction in antinutritional and toxic components in
plant foods by fermentation, Food Res. Int., 27, 281–290.
Rosenthal,
G.A. and Janzen, D.H. 1979. Herbivores: their Interaction with Secondary
Plant Metabolites. Academic Press, New York 718 pp.
Sukria,
AH dan Krisnan, R. 1999. Sumber dan Ketersediaan Bahan Baku Pakan di Indonesia.
Bogor: IPB Press.
Tannenbaum,
S.R., (Ed.). 1979. Nutritional and safety aspects of food processing. Marcel
Dekker Inc., New York.
Wang,
J., Yang, J.H. and Jones, R.J. 1987. Chinese cattle detoxify the leucaena toxin
after Australian rumen fluid infusion. In: Proceedings 4th Annual
Conference of Chinese Grassland Association, Nanning, Guangxi, November 12-17,
1987.
Wang,
M.Y., West, B.J., Jensen, C.J., Nawicki, D., Su, C., Palu, A.K. dan Anderson,
G. 2002. Morinda citrifolia (Noni) :
A literature review and research advances in Noni research. Acta Pharmacol.
Sin. 23 (12): 1127 – 1141.
Wildin,
J.H. 1985. Tree Leucaena - Permanent High Quality
Pastures. Queensland Department of Primary Industries, Rockhampton, 8 pp.
Wina,
E., Muetzel, S., Hoffman, E., Makkar, H.P.S. and Becker, K. 2002. Inclusion of
several Indonesian medicinal plants in in
vitro rumen fermentation and their effects on microbial population
structure and fermentation products. Deutscher Tropentag October 2002,
Witzenhausen, Germany.
Yatno.
1993. Penggunaan kacang kedelai hasil dari beberapa cara pemanasan terhadap
bobot organ pencernaan ayam broiler fase awal [skripsi]. Jambi: Fakultas
Peternakan Unversitas Jambi.
Sangat bagus dan bermanfaat. Ijin copas untuk menambah ilmu ya... Thanks.
BalasHapusNeutral Protease AF GMP Grade is manufactured according to cGMP guidelines using a production process completely free of animal-based components. In this way the introduction of any potential animal-derived pathogen is excluded. protease
BalasHapus