Kamis, 30 Oktober 2014

ANTINUTRISI

Antinutrisi
1.      Pendahuluan
2.      Klasifikasi Antinutrisi
3.      Antinutrisi dalam Bahan Pakan Ternak
4.      Strategi untuk Pengelolaan Senyawa Antinutrisi
5.      Komponen Aktif dalam Bahan Pakan
6.      Daftar Pustaka

1.        Pendahuluan
Tanaman yang dapat dijadikan sumber bahan pakan umumnya memiliki potensi untuk memproduksi senyawa kimia tertentu yang digunakan untuk mempertahankan diri dari gangguan infeksi oleh jamur, bakteri dan insekta ataupun predator lainnya. Akan tetapi senyawa tersebut jika terkonsumsi oleh manusia atau ternak dapat mengakibatkan gangguan penampilan seperti pertumbuhan, kesehatan, produksi, penurunan  Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH), pernafasan bahkan dapat menyebabkan kematian pada waktu dan dosis tertentu. Hal ini dikarenakan terhambatnya kerja enzim pencernaan tertentu. Senyawa-senyawa tersebut dikenal dengan istilah antinutrisi.
Pengertian antinutrisi itu sendiri menurut Janssen (1996) adalah senyawa yang terdapat dalam bahan makanan yang dapat menyebabkan keracunan walaupun tidak menjadi media atau senyawa aktif. Kumar (2003) mendefinisikan antinutrisi sebagai senyawa yang dihasilkan di dalam bahan pakan alami oleh proses metabolisme normal dan oleh perbedaan mekanisme seperti pengtidakaktifan beberapa zat makanan, interfensi dalam proses pencernaan atau pemanfaatan produk dari proses metabolisme bahan makanan tersebut dengan memberikan pengaruh yang bertentangan terhadap zat makanan secara optimum. Menjadi faktor antinutrisi bukanlah sesuatu yang hakiki dari senyawa-senyawa tersebut melainkan tergantung kepada proses pencernaan zat makanan yang dikonsumsi oleh ternak. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata antinutrisi terdiri dari dua kata dasar yaitu anti dan nutrisi. Anti berarti  tidak setuju; tidak suka; tidak senang. Nutrisi memiliki 3 pengertian yaitu (1) proses pemasukan dan pengolahan zat makanan oleh tubuh; (2) makanan bergizi; (3) ilmu tentang gizi. Oleh karena itu, antinutrisi dapat diartikan sebagai senyawa bersifat racun yang dapat menghambat proses pemasukan dan pengolahan zat makanan yang ada di dalam tubuh. Antinutrisi tidak memberikan pengaruh keracunan tersebut secara langsung melainkan dengan cara mengakibatkan defisiensi zat makanan atau dengan cara mengganggu fungsi dan pemanfaatan zat makanan di dalam tubuh.
Jurgens (1997) menyatakan bahwa didalam tanaman terkandung ribuan macam senyawa, tergantung dari situasi mereka, yang dapat menguntungkan atau mengurangi pengaruh dari organisma yang mengkonsumsi mereka. Senyawa-senyawa ini, kecuali zat makanan, diartikan sebagai “allelochemicals” atau senyawa yang menyebabkan kematian. Peneliti lain menyatakan hal yang senada bahwa didalam tanaman terdapat senyawa yang merupakan produksi sekunder dari proses metabolisme zat makanan. Senyawa-senyawa ini untuk tanaman itu sendiri berfungsi sebagai pencegah dari serangan predator. Akan tetapi bila terkonsumsi maka akan mengganggu proses metabolisme zat makanan di dalam tubuh hewan, ternak atau manusia yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu senyawa metabolit sekunder juga merupakan kelompok senyawa antinutrisi. Akan tetapi sampai saat ini belum begitu dimengerti bagaimana mekanisme dari senyawa metabolit sekunder dalam tanaman yang sebenarnya. Menurut beberapa ahli terdahulu (Culvenor, 1970; Rosenthal dan Janzen, 1979) yang dipahami sampai saat ini adalah bahwa senyawa metabolit sekunder yang terdapat di dalam tanaman dapat mencegah atau membatasi serangan dari herbivora.
Antinutrisi dapat mempengaruhi komponen pakan sebelum dikonsumsi, selama proses pencernaan di dalam saluran pencernaan dan setelah penyerapan di dalam tubuh dengan cara menghambat proses pemanfaatan atau fungsi dari zat makanan, khususnya protein, mineral dan vitamin. Pengaruh negatif dari antinutrisi biasanya tidak mencerminkan senyawa antinutrisi itu sendiri sebagaimana pengaruh langsung dari racun dalam bahan makanan. Dampak dari adanya antinutrisi di dalam bahan makanan adalah terjadinya malnutrisi atau kekurangan gizi atau kondisi gizi yang berada pada batas bawah kebutuhan.
Pada akhirnya dapat dinyatakan bahwa antinutrisi :
·      Bersifat racun tetapi bukan racun sehingga dapat melindungi tanaman dari predator / sebagai pencegah dari serangan predator
·      Dapat menyebabkan kematian / allelochemical
·      Jika terkonsumsi dapat mengganggu proses metabolisme, pencernaan, penyerapan dan pemanfaatn zat makanan.
·      Dapat mempengaruhi komponen pakan sebelum dikonsumsi, selama proses pencernaan di dalam saluran pencernaan dan setelah penyerapan di dalam tubuh dengan cara menghambat proses pemanfaatan atau fungsi dari zat makanan, khususnya protein, mineral dan vitamin
·      Saat dikonsumsi maka pengaruhnya tidak langsung, berbeda dengan pengaruh racun yang langsung terlihat.
·      Dampak akibat mengkonsumsi antinutrisi adalah malnutrisi atau status nutrisi berada dibatas bawah kebutuhan.

2.        Klasifikasi Antinutrisi
Berdasarkan asal senyawa maka antinutrisi dapat dibedakan menjadi dua yaitu antinutrisi alami dan antinutrisi sintetis (buatan). Janssen (1996) menyatakan bahwa berdasarkan zat makanan yang terganggu proses pencernaan, penyerapan dan atau pemanfaatannya maka antinutrisi dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu antinutrisi tipe A (antiprotein), antinutrisi tipe B (antimineral) dan antinutrisi tipe C (antivitamin). Kumar (2003) mengelompokkan faktor antinutrisi yang terdapat di dalam daun pohon dan semak belukar menjadi 7 seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Faktor Antinutrisi yang terdapat di dalam Daun Pohon dan Semak Belukar yang Umum digunakan sebagai Pakan Ternak
Senyawa Antinutrisi
Spesies
1.      Asam Amino non Protein

a.       Mimosin
Leucaena leucocephala
b.      Indospesin
Indigofera spicta
2.      Glikosida

a.       Cyanogen
Acacia giraffae

Acacia cunninghamii

Acacia sieberiana

Bambusa bambos

Barteria fistulosa

Manihot esculenta
b.      Saponin
Albizia stipulata

Bassia latifolia

Sesbania sesban
3.      Phytohemagglutinins

a.       Ricin
Bauhinia purpurea

Ricinus communis
b.      Robin
Robinia pseudoacacia
4.      Senyawa pholypenolik
      
a.       Tannin
Semua tanaman vaskular
b.      Lignin
Semua tanaman vaskular
5.      Alkaloid

a.       N-methyl-B-phenetylamin
Acacia berlandieri
b.      Sesbanin
Sesbania vesicaria

Sesbania drummondii

Sesbania punicea
6.      Triterpen

a.       Azadiracthin
Azadirachta indica
b.      Limonin
Azadirachta indica
7.      Oksalat
Acacia aneura
Sumber : Kumar (2003).

2.1.       Antinutrisi tipe A (antiprotein)
Antinutrisi tipe A adalah senyawa antinutrisi yang terutama sekali mengganggu proses pencernaan protein atau penyerapan asam amino dan pemanfaatan asam amino. Oleh karena itu disebut juga antiprotein.
Antiprotein pada umumnya terdapat didalam tanaman. Akan tetapi pada beberapa kasus, antiprotein juga terdeteksi ada di dalam obat-obatan, antibiotik dan pestisida. Manusia yang cenderung vegetarian atau hanya tergantung pada protein nabati sebagai sumber protein dalam tubuhnya, umumnya mengalami masalah antiprotein. Hal ini paling banyak terjadi pada masyarakat di negara berkembang. Di negara maju yang kesadaran masyarakat akan pentingnya protein nabati dan hewani cenderung tidak mengalami masalah antiprotein. Mereka mengkonsumsi protein nabati dan hewani dalam keadaan seimbang untuk memenuhi kebutuhan akan protein setiap harinya. Di negara negara Amerika, Eropa dan Australia, masyarakat mempunyai kebiasaan mengkonsumsi telur rebus saat sarapan pagi sebagai sumber protein. Contoh antiprotein yang paling terkenal adalah protease inhibitors dan lectins, keduanya merupakan protein. Protease inhibitor menghambat enzim proteolitik (enzim pemecah protein). Lectins selain sebagai antiprotein juga sebagai antimineral dan antivitamin.
2.1.1.      Protease inhibitors
Protease inhibitors atau senyawa-senyawa penghambat kerja enzim protease yaitu enzim yang bertugas dalam penguraian protein melalui pengikatan bagian aktif dari enzim tersebut. Antinutrisi jenis ini lebih banyak dijumpai dalam tanaman dan sangat sedikit dijumpai dalam jaringan tubuh hewan. Walaupun penghambat protease lebih banyak dijumpai dalam tanaman, tetapi penghambat enzim proteolitik pertama kali dijumpai di dalam telur yang kemudian dikenal sebagai ovomucoid dan ovoinhibitor, kedua duanya mengakibatkan ketidak aktifan asam amino trypsin. Selain itu di dalam telur khususnya putih telur dijumpai chymotrypsin inhibitor. Bahan pakan lain yang juga mengandung trypsin dan/atau chymotrypsin inhibitor adalah jenis kacang kacangan (legum seperti kacang kedele), sayur-sayuran seperti alfafa, susu, sereal seperti gandum dan umbi-umbian seperti kentang dan ubi jalar.
Penghambat enzim protease yang terdapat di dalam kacang kedelai, kacang merah dan kentang ternyata juga mampu menghambat enzim elastase yaitu enzim yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas. Enzim elastase merupakan enzim yang bekerja pada elastin, suatu protein yang tidak larut yang terdapat di dalam daging. Oleh karena penghambat protein adalah juga protein, maka penghambat protein juga tidak tahan terdapat panas, umumnya sensitif pada panas lembab sedangkan pada panas kering biasanya kurang efektif. Pemanasan kacang kedelai menggunakan autoclave selama 20 menit pada suhu 115oC atau 40 menit pada suhu 107 sampai 108oC merupakan titik yang tepat untuk menghancurkan penghambat ini secara maksimal. Perendaman awal di dalam air selama 12 sampai 24 jam membuat perlakuan pemanasan ini menjadi lebih efektif. Mendidihkan pada suhu 100oC selama 15 sampai 30 menit sudah cukup untuk meningkatkan nilai nutrisi kacang kedelai yang direndam. Walaupun demikian, ada beberapa penghambat enzim protease yang relatif tahan terhadap panas. Sebagai contoh adalah penghambat tripsin pada susu. Pada susu murni yang belum mendapat perlakuan apapun, aktivitas tripsin dapat diturunkan 75 sampai 99%. Penghambatnya tidak terpengaruh jika dipanaskan pada suhu sampai 70oC. Proses pasteurisasi selama 40 detik pada suhu 72oC hanya mampu menghancurkan penghambatnya 3 sampai 4%, pemanasan pada suhu 85oC selama 3 detik menghancurkan 44 sampai 45% dan pemanasan pada suhu 95oC selama 1 jam mampu menghancurkan sampai 73%. Penghambat enzim protease lainnya yang juga relatif tahan terhadap panas adalah penghambat trypsin pada alfafa dan kacang serendeng dan penghambat chymotrypsin pada kentang.
2.1.2.      Lectins
Lektin adalah istilah yang umum digunakan untuk protein tanaman yang mempunyai sisi yang sangat kuat terikat dengan karbohidrat. Lektin paling banyak dijumpai dalam bentuk glycoprotein. Lektin yang terdapat di dalam kacang merah kemungkinan berupa lipoprotein. Cara kerja lektin berhubungan erat dengan kemampuannya mengikat sel reseptor. Lektin dapat menggumpalkan sel darah merah sehingga disebut juga hemagglutinin. Lektin juga dapat mempengaruhi penyerapan asam amino, lemak, vitamin dan thyroxine dari usus. Oleh karena itu lektin yang terdapat di dalam tanaman khususnya di dalam legum selain termasuk antiprotein (antinutrisi tipe A), juga termasuk antinutrisi tipe B (antimineral) dan C (antivitamin). Lektin selain terdapat di dalam legum, juga terdapat di dalam kentang, mangga dan gandum.
Beberapa hasil penelitian memperlihatkan adanya gangguan penyerapan zat makanan dan senyawa esensial lainnya di dalam usus. Hasil penelitian in vitro memperlihatkan bahwa lektin di dalam kacang kacangan nyata mengikat sel-sel mukosa usus pada tikus. Ternak yang mengkonsumsi kacang kedelai mentah memperlihatkan terjadinya penurunan penyerapan asam amino, thyroksin dan lemak sementara itu terjadi peningkatan kebutuhan lipophilic vitamin A dan D. Gangguan dalam penyerapan thyroksin dapat menjelaskan adanya pengaruh goitrogenic dari kacang kedelai. Akan tetapi, pengaruh ini mungkin dapat juga disebabkan oleh adanya gangguan dalam penyerapan yodium, sebagaimana suplementasi mineral yodium dalam ransum mempunyai pengaruh positif pada penyakit gondok.
Antinutrisi lektin sangat nyata terdapat di dalam kacang merah, sementara itu yang paling toksik ditemukan dalam biji jarak yang mengandung ricin penyebab nekrosis sel usus halus. Sebagaimana protein pada umumnya, lektin juga tidak tahan terhadap panas dan dapat ditidakaktifkan melalui panas lembab. Pengtidakaktifan menggunakan panas kering ternyata kurang efektif. Aktivitas hemagglutinin pada beberapa varitas pea dan spesies kacang kacangan menurun pada saat pembenihan. Contohnya aktivitas lektin pada kacang kedelai menurun sebesar 92% selama hari pertama pembenihan.

2.2.       Antinutrisi tipe B (antimineral)
Antinutrisi tipe B adalah senyawa antinutrisi yang terutama sekali mengganggu penyerapan atau metabolisme pemanfaatan mineral. Oleh karena itu disebut juga sebagai antimineral. Antimineral banyak terdapat didalam sayur sayuran, buah buahan dan biji bijian. Level mineral dalam bahan makanan jarang yang menyebabkan pengaruh akut jika ransum atau pakan atau makanan dalam keadaan seimbang zat makanannya.

Yang termasuk kedalam antinutrisi tipe B adalah:
2.2.1.      Asam pitat
2.2.2.      Asam oksalat
2.2.3.      Glucosinolat
2.2.4.      Serat dalam makanan
2.2.5.      Gossypol

2.2.1. Asam Pitat
            Asam pitat adalah sejenis asam kuat yang dapat membentuk garam tidak terlarut dengan berbagai jenis bivalent dan tervalent ion metal berat. Dengan cara itu asam pitat akan menurunkan ketersediaan berbagai mineral dan unsur esensial lainnya.
Rumus bangun atau struktur kimia asam pitat terlihat pada Gambar 1. Asam pitat pada manusia terbukti mempunyai pengaruh negatif dalam penyerapan zat besi. Sebagaimana diketahui bahwa penyerapan zat besi tergantung terutama sekali oleh level zat besi dalam pakan, jumlah dan bentuk kimia zat yang diserap dan keberadaan asam askorbat. Asam pitat mencegah kompleksasi antara zat besi dan gastroferrium, zat besi yang terikat protein disekresikan dalam lambung. Hasil penelitian pada ternak dan manusia menunjukkan adanya interfensi asam pitat dalam penyerapan magnesium, zinc, tembaga dan mangan.
Pada berbagai bahan makanan aktivitas enzim pitase dapat menurunkan level asam pitat. Pitase adalah enzim yang terdapat di dalam tanaman yang mengkatalisis defosforilasi asam pitat. Kacang kedelai memperlihatkan aktivitas pitase yang lemah. Rye mengandung paling banyak enzim pitase aktif dibandingkan semua jenis biji-bijian sereal. Aktivitas enzim pitase drastis menurunkan kandungan pitat selama pembuatan roti. Defosforilasi asam pitat difasilitasi oleh peningkatan keasaman roti yang mengakibatkan reaktivitas yeast. Enzim Pitase yang ditambahkan kedalam ransum mengakibatkan tidak perlu ada penambahan fosfat ke dalam ransum. Dengan cara ini juga ternak akan mengekskresikan sedikit fosfat yang mungkin berkontribusi dalam menurunkan polusi lingkungan.
Gambar 1. Rumus bangun asam pitat 

       Kandungan asam pitat dalam bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Asam Pitat pada Berbagai Bahan Makanan
Bahan Makanan
Asam pitat (mg%)
Bahan Makanan
Asam pitat (mg%)
Biji-bijian
-       Gandum
170 – 280
Rye
247
-       Jagung
146 – 353
Beras
157 – 240
-       Barley
70 – 300
Oats
208 – 355
-       Sorghum
206 – 280
Buckwheat
322
-       Millet
83
Dedak gandum
1170 – 1439
Legum dan sayur-sayuran
Kacang hijau ((Phaseolus vulgaris)
52
Kacang (Phaseolus vulgaris)
269
Kacang (Phaseolus lunatus)
152
Green pea (Pisum sativum)
12
Pea (Pisum sativum)
117
Pea  (Lathyrus sativum)
82
Kentang
14
Wortel
0 – 4
Kacang kedelai
402
Lentil
295
Chick pea
140 – 354
Vetch
500
Kacang dan biji-bijian

Walnut
120
Hazelnut
104
Almond
189
Peanut
205
Cocoa bean
169
Pistachio nut
176
Rapeseed
795
Cottonseed
368
Bumbu dan penyedap rasa
Millet
83
Caraway
297
Coriander
320
Cumin
153
Mustard
392
Nutmeg
162
Black pepper
115
Pepper
56
Paprika
71


Sumber : Janssen (1996)


2.2.2.      Asam oksalat
Asam oksalat (HOOC–COOH) dapat menyebabkan keracunan sebagaimana senyawa antinutrisi lainnya bahkan pada manusia dapat menyebabkan keracunan yang akut. Akan tetapi dibutuhkan dosis yang tinggi untuk menyebabkan keracunan tersebut yaitu 4 – 5 g. Asam oksalat umumnya dijumpai pada makanan tetapi jarang menjadi perhatian. Keberadaan asam oksalat sebagaimana asam pitat dapat menurunkan ketersediaan kation bivalent yang esensial. Asam oksalat merupakan asam kuat dan dengan alkali tanah, atau ion divalent lainnya dapat membentuk garam yang sangat sulit larut di dalam air. Kalsium oksalat tidak larut dalam air pada ph netral atau basa dan dapat dilarutkan dengan mudah pada medium asam. Penelitian pada ternak dan manusia memperlihatkan adanya pengaruh negatif dari pakan yang kaya oksalat terhadap penyerapan kalsium. Sayuran yang kaya oksalat seperti bayam, seledri dan juga coklat memperlihatkan adanya gangguan kesimbangan kalsium pada manusia yang mengkonsumsinya. Pengaruh negatif dari asam oksalat terhadap penyerapan kalsium dapa diprediksi dari rasio oksalat/kalsium dalam bahan makanan (Tabel 3). Bahan pakan yang rasionya lebih dari 1 dapat menurunkan ketersediaan kalsium, rendah dari 1 belum mempengaruhi penyerapan kalsium. Kalsium berikatan secara permanen dengan asam oksalat oleh karena itu makanan dengan rasio oksalat/Ca2+ sama dengan 1 bukanlah sumber kalsium yang baik walaupun bahan tersebut kaya akan kalsium. Pengaruh oksalat dapat dipengaruhi oleh status gizi ternak atau manusia, lama penelitian dan level konsumsi kalsium. sebagai contoh, tikus tidak terpengaruh oleh oksalat setelah mengkonsumsi pakan mengandung 2,5% oksalat tetapi pakan tersebut defisien akan kalsium, fosfor dan vitamin D. Oleh karena itu penurunan penyerapan kalsium yang disebabkan oleh oksalat tidak akan berbeda nyata sepanjang ketersediaan kalsium mendekati habis. Konsumsi pakan yang kaya kalsium seperti susu sapi dan makanan laut sebagaimana pakan yang kaya vitamin D direkomendasikan hanya jika sejumlah besar pakan kaya oksalat terkonsumsi.




Tabel 3. Daftar Bahan Makanan dengan Rasio oksalat/kalsium lebih dari 1

Bahan Makanan
Kandungan oksalat
(mg/100 g bahan)
Rasio oksalat/kalsium
(meq/meq)
Bayam
970
4,3
Bit (tanaman sumber gula)


-          Daun
610
2,5
-          Akar
275
5,1
Coklat
700
2,6
Kopi
100
3,9
Teh
1150
1,1


2.2.3.      Glucosinolat
Glukosinolat terkandung pada berbagai tanaman, merupakan kelas dari thioglukosida yang strukturnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Glukosinolat

Sebahagian besar glukosinolat adalah goitrogenik (penyebab gondok atau pembengkakan kelenjar). Ada tiga jenis gondok yaitu cabbage goiter (struma), brassica seed goiter, and legume goiter. Cabbage goiter atau gondok yang disebabkan oleh kelebihan mengkonsumsi sayur kubis dimana goitrogen kubis menghambat penyerapan yodium dengan cara langsung mempengaruhi kelenjar tiroid. Cabbage goiter dapat diobati dengan suplementasi yodium. brassica seed goiter muncul akibat mengkonsumsi biji tanaman brassica seperti kubis yang mengandung senyawa pencegah sintesis tiroksin. Gondok jenis ini dapat diobati dengan pemberian hormon tiroid Legume goiter adalah akibat dari goitrogen yang terdapat pada legum seperti kacang kedelai dan kacang tanah. Berbeda dengan cabbage goiter, legume goiter bukan dikarenakan keterlibatan langsung kelenjar tiroid melainkan adanya penghambatan penyerapan yodium di usus atau penyerapan kembali tiroksin. Legume goier dapat diatasi dengan terapi yodium. Ada 50 glukosinolat yang berhasil diidentifikasi dari tanaman. Kubis, strawberi, bayam dan wortel terbukti nyata menurunkan konsumsi yodium pada kelenjar tiroid manusia.

2.2.4.      Serat dalam makanan
Serat dalam makanan adalah komponen dinding sel tanaman yang tidak dapat dicerna oleh sekresi endogenus pada saluran pencernaan manusia dan unggas. Serat dalam makanan terdiri dari komponen senyawa pektat, hemiselulosa, polisakarida, selulosa dan lignin. Selanjutnya, Tannin, protein tidak tercerna, pigmen tanaman, wax/lilin, bahan silika dan asam pitat dapat dikelompokkan dalam matrik serat. Bahan bahan ini bersifat bulky atau pengeyang. Jumlah air terikat dapat menjadi 4 – 6 kali berat kering serat.
Bahan makanan yang mengandung 15% selulosa akan menurunkan penyerapan nitrogen sebanyak 8 %. Interaksi antara serat dan gula tidak menghasilkan reduksi penyerapan gula tetapi secara perlahan melepas gula ke dalam aliran darah.

2.2.5.      Gossypol
Gossipol adalah pigmen kuning yang terdapat pada tanaman katun dan kandungan tertinggi terdapat di dalam biji katun. Gossipol ada dalam 3 bentuk tautometrik yaitu phenolic quinoid tautomer (I), aldehyde (II), dan hemiacetal (III). Gossipol adalah antimineral dan juga antiprotein yang membentuk kelat tidak terlarut dengan berbagai mineral esensial seperti zat besi dan mengikat asam amino khususnya lisin sehingga gossipol dapat menurunkan ketersediaan protein dalam bahan makanan dan mentidakaktifkan enzim-enzim yang penting. Pengolahan terbukti dapat menghilangkan gosipol 80 – 99%. Pigmen diekstraksi dengan minyak dan selanjutnya dihilangkan dengan penghalusan dan pencucian. Sekitar 0,5 – 1,2% dari total gosipol umumnya tertinggal dalam pakan yang sudah diolah. Kurang dari 0,06% adalah gosipol bebas. Penggunaan additif seperti FeSO4 dan Ca(OH)2 mencegah reaksi gosipol dengan lisisn selama perlakuan panas. Saat ini di Amerika berhasil dibudidayakan tanaman katun yang bebas dari gosipol. Level gosipol yang diperkenankan dalam makanan manusia adalah 0.045%.

2.3.      Antinutrisi tipe C (antivitamin)
Antinutrisi tipe C adalah senyawa antinutrisi yang mengakibatkan ketidak aktifan atau merusak vitamin atau yang dapat meningkatkan kebutuhan vitamin. Oleh karena itu disebut juga antivitamin. Antivitamin adalah kelompok senyawa yang terjadi secara alami yang dapat mendekomposisi vitamin, membentuk senyawa kompleks yang tidak dapat diserap atau yang mempengaruhi pencernaan vitamin atau pemanfaatan produk metabolisme.

Yang termasuk kedalam antinutrisi tipe C adalah:
2.3.2.      Asam askorbat oksidase
2.3.3.      Faktor Antithiamin
2.3.4.      Faktor Antipyridoksin

Asam askorbat oksidase
Asam askorbat oksidase adalah enzim yang mengandung tembaga yang memediasi oksidasi asam askorbat bebas pertama menjadi asam dehidroaskorbat dan selanjutnya menjadi asam diketogulonit, asam oksalit dan produk oksidasi lainnya. Asam askorbat oksidase terdapat pada berbagai buah-buahan dan sayur-sayuran seperti ketimun, labu, letus, pisang, tomat, kentang, wortel dan kacang hijau. Aktivitasnya bervariasi tergantung jenis buah dan sayurannya. Enzim ini aktif pada pH 4 – 7 dan temperatur optimum pada 38oC. Ketika sel tanaman diganggu atau dipotong dan enzimnya dibuang maka kandungan vitamin C nya akan menurun sangat nyata. Pada jus segar, 50% kandungan vitamin C nya akan hilang kurang dari satu jam. Aktivitas enzim asam askorbat oksidase dapat dihambat secara efektif dengan cara memutihkan warna buah-buahan dan sayur-sayuran.
       Asam askorbat dapat juga dilindungi dari aktivitas enzim asam arkorbat oksidase melalui komponen aktif yang terdapat dalam tanaman seperti flavonoid.

Faktor Antithiamin
       Antitiamin adalah kelompok kedua antivitamin setelah asam askorbat oksidase. Antitiamin berinteraksi dengan vitamin B1 atau tiamin. Antitiamin faktor dapat dibedakan sebagai tiaminase, tannin dan katekol. Interaksi dengan vitamin B1 dapat mengakibatkan neurotoksik yang serius sebagai akibat dari defisiensi vitamin B1. Secara normal manusia dan ternak tidak akan mengalami masalah dengan antitiamin kecuali bila sudah terjadi defisiensi tiamin dan ransum yang dikonsumsi rendah kandungan tiaminnya.
       Tiaminase dijumpai pada berbagai jenis ikan baik ikan air tawar maupun ikan laut, kepiting dan kerang. Enzim antitiaminase akan memilah tiamin pada ikatan metil. Tiaminase mengandung coenzim non protein, strukturnya mirip hemin, terdapat komponen pigmen merah dari hemoglobin. Pemasakan akan merusak enzim tiaminase pada ikan dan sumber-sumber lainnya. Faktor Antitiamin juga terdapat pada tanaman. Tannin, terdapat pada berbagai tanaman termasuk teh dipercaya dapat menghambat pertumbuhan ternak dan menghambat kerja enzim pencernaan. Tannin terbukti nyata dapat menghancurkan atau merusak tiamin. Salah satu komponen tannin adalah asam gallat.

Faktor Antipyridoksin
       Tanaman dan jamur yang dapat dikonsumsi mengandung antagonis piridoksin (sebuah bentuk dari vitamin B6). Faktor antipiridoksin teridentifikasi sebagai turunan dari hidrazin. Faktor antipiridoksin juga dijumpai pada jamur liar, jamur yang dijual dan dapat dikonsumsi oleh manusia dan jamur Jepang Shiitake. Jamur-jamur tersebut mengandung agaritin. Hidrolisis agaritin diakselerasikan jika sel-sel jamur diganggu. Penanganan secara hati-hati pada jamur dan segera diputihkan setelah pencucian dan pemotongan dapat mencegah proses hidrolisis.

3.                  Antinutrisi dalam Bahan Pakan Ternak
Di dalam tanaman selain terkandung senyawa yang esensial yaitu protein, karbohidrat, lemak, beberapa vitamin dan mineral juga terkandung senyawa lain yang disebut senyawa metabolit sekunder. Senyawa metabolit sekunder terkandung dalam tanaman dengan struktur kimia yang berbeda dan tidak sama antar genus dan spesies tanaman. Senyawa tersebut paling banyak dijumpai pada tanaman atau hijauan di daerah tropis dibandingkan dengan hijauan yang tumbuh di daerah temperate atau daerah beriklim sedang dan lebih banyak dijumpai pada tanaman berbentuk pohon atau kayu dibandingkan dengan yang berupa herba atau berupa rerumputan (Jones dan Lowry, 1990). Senyawa metabolit sekunder pada umumnya bersifat sebagai antinutrisi.
Beberapa bahan pakan yang mengandung antinutrisi dapat dibedakan sebagai berikut:
1.      Biji-bijian atau sereal seperti gandum, rye dan oat
2.      Umbi-umbian seperti kentang, ubi jalar, bengkuang dan singkong.
3.      Hijauan / rumput seperti rumput pahit dan rumput gajah.
4.      Leguminosa herba seperti kalopo (Calopogonium muconoides)
5.      Leguminosa pohon seperti pohon gamal, lamtoro, kapuk
6.      Tanaman berkhasiat obat seperti daun cabe-cabe, rumput mutiara dan mengkudu.

4.        Strategi untuk Pengelolaan Senyawa Antinutrisi
Berbagai cara dapat dilakukan untuk mencegah atau menurunkan pengaruh senyawa antinutrisi yang terdapat di dalam tanaman atau hijauan terhadap ternak yang mengkonsumsi pakan mengandung tanaman atau hijauan tersebut.
Cara yang dapat dilakukan diantaranya:
a.         Menghindari penggunaan tanaman yang mengandung antinutrisi atau pakan yang bermasalah.
Cara ini merupakan cara yang paling sederhana untuk mencegah terkonsumsinya senyawa antinutrisi.

b.        Memberikan supplemen yang dapat mengatasi dampak senyawa antinutrisi
Ketika ternak menkonsumsi pakan yang tinggi kandungan tannin yang sulit terurai (condensed tannin) maka konsumsi ransum akan menurun. Kandungan condensed tannin yang tinggi dapat menurunkan nilai pakan karena terjadinya penurunan ketersediaan zat makanan khususnya protein dan penurunan kecernaan dinding sel (Barry dan Blaney, 1987). Jika kondisi ini terjadi maka suplementasi Na, S, Ca dan N (urea) akan memperbaiki penampilan ternak. Sebagaimana dilaporkan oleh Gartner dan Niven (1978), Elliott dan McMeniman (1987) bahwa pertumbuhan wool dan pertambahan bobot badan pada domba yang mengkonsumsi mulga (Acacia aneura) meningkat dengan suplementasi Na, S, Ca dan N (urea) walaupun hasil analisis proksimat daun mulga menunjukkan bahwa zat makanan dalam daun hanya cukup untuk pertumbuhan. Hal ini diduga karena kalsium dalam bentuk kalsium oksalat dan tannin (yang mengikat protein dan membutuhkan ekskresi sulfur sebagai sulfat) merespon suplementasi mineral tersebut (Gartner dan Hurwood, 1976).
Kandungan tannin dalam legum herba juga dapat diturunkan melalui peningkatan kandungan zat makanan dalam tanah khususnya mineral P dan S dengan cara pemupukan seperti yang terdeteksi pada tanaman Lotus spp., sainfoin (Onobrychis sativa) dan Desmodium ovalifolium (Barry dan Blaney, 1987; Lascano dan Salinas 1982). Untuk legum pohon, pemupukan belum dapat menurunkan kandungan condenses tanninnya.
 
c.         Memberikan Bahan Pakan yang Rendah Kandungan Antinutrisinya
Cara ini dapat dilakukan untuk memperkecil pengaruh antinutrisi terhadap ternak. Pemberian pakan di dalam kandang dilakukan hanya jika bahan pakan tersebut rendah kandungan antinutrisinya. Membiarkan ternak menggembala di padangan akan memberi peluang lebih banyak pakan yang mengandung antinutrisi terkonsumsi.

d.        Menggunakan mikroba rumen untuk mengurangi atau menghilangkan sifat racun yang terdapat di dalam antinutrisi
Mikroorganisma rumen akan mengkonversi produk metabolit yang bersifat racun menjadi tidak racun. Dalam kondisi normal oksalat terlarut yang terdapat di dalam rumput tidak akan mempengaruhi ternak ruminansia, akan tetapi jika sapi mengkonsumsi pakan kering yang tanpa sengaja terdapat pada lahan pastur yang subur dan kaya oksalat maka sapi tersebut akan matin karena terakumulasinya oksalat di dalam ginjal (Jones et al., 1970). Bakteri anaerobik seperti Oxalobacter formigenes dapat menkonversikan oksalat tersebut menjadi CO2 dan format tergantung hanya pada sumber energinya (Allison, 1985). Mikroorganisma tersebut mengkonversikan senyawa racun atau bersifat racun menjadi senyawa yang berguna untuk meningkatkan aktivitas ternak misalnya merobah isoflavones formononetin dan daidzein, yang terdapat didalam oestrogenic clover menjadi  equol dan O-methylequol melalui dimetilasi dan reduksi (Cox, 1985). Isoflavones formononetin dan daidzein merupakan senyawa yang dapat menurunkan kesuburan pada domba betina.

5.        Senyawa Aktif dalam Bahan Pakan
Senyawa aktif dalam pakan adalah senyawa yang terdapat dalam bahan makanan yang mempunyai pengaruh positif terhadap ternak atau manusia yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu peran dan fungsinya berlawanan dengan antinutrisi. Pemakaiannya yang walaupun hanya sedikit dalam campuran ransum tetapi mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi ternak misalnya sebagai antibakteri, anti jamur, anti kanker, antitumor, antivirus atau antimikroba lainnya. Keberadaan senyawa aktif ini biasanya menjadi sumber feed additif (bahan pakan tambahan) dalam ransum. Senyawa tersebut dapat diperoleh dari tanaman atau bahan pakan dengan cara memisahkan, memurnikan dan mengekstraksi dari tanaman atau ternak. Tanaman yang mengandung senyawa aktif biasanya dijadikan sebagai tanaman obat.
Beberapa tanaman atau bagian tanaman yang mengandung senyawa aktif antara lain :
  1. Daun saga ((Abrusprecatorius L.). 
Telah ditemukan  antibakteri  yang mampu menghambat pertumbuhan  Staphylococcus aureus ATCC 52938, Staphylococcus beta hemoliticus standar strain WHO, dan Streptococcus pneumoniae standar. Selain itu juga ditemukan  senyawa pemanis  yang disebut glycyrrhizin yang mempunyai kemanisan 30 - 100 kali manisnya gula. Apabila dibandingkan dengan daun saga manis dari Miami, (Florida-USA) daun saga manis yang diperoleh di Bandung, (Indonesia), ternyata mempunyai penampilan kromatografi lapis tipis yang berbeda untuk senyawa-senyawa glikosidanya. Dengan cara fraksinasi bioakthitas terarah, telah dapat diisolasi dan dikarakterisasi beberapa pemanis dari daun saga manis yang berasal dari Bandung. Senyawa-senyawa pemanis tcrsebut  sangat berpotensi  sebagai alternatif  gula untuk konsumsi penderita diabetes dan obesitas.
  1. Daun Bandotan.
Bandotan (Ageratum conyzoides L., Gambar 3.) dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama wedusan dan babadotan dalam bahasa Sunda. Batang tanaman bandotan membentuk percabangan dan berbulu, berkembang biak dengan biji dan merupakan gulma pada tanaman tahunan dan musiman (Djauhariya dan Hernani, 2004). Anonim (2003) menyatakan bahwa Di Indonesia, bandotan merupakan tumbuhan liar dan lebih dikenal sebagai tumbuhan pengganggu (gulma) di kebun dan di ladang. Tumbuhan ini, dapat ditemukan juga di pekarangan rumah, tepi jalan, tanggul, dan sekitar saluran air pada ketinggian 1-2.100 m di atas permukaan laut (dpl). Magdalena (1993) menyatakan bahwa bandotan tergolong tergolong dalam tumbuhan semusim tumbuh tegak atau bagian bawahnya berbaring, tingginya 30 – 90 cm dan bercabang. Batang berambut panjang dan jika menyentuh tanah akan mengeluarkan akar, sedangkan bunga majemuk berkumpul 3 atau lebih, berbentuk mata rantai yang keluar dari ujung tangkai, warnanya putih dan panjang bongol bunga 6 – 8 mm dengan tangkai yang berambut. Buahnya berwarna hitam dan bentuk kecil. Jika daunnya telah layu dan membusuk akan mengeluarkan bau yang tidak enak.
Herba bandotan mengandung asam amino, organacid, pectic substance, minyak asiri kumarin, ageratochromene, friedelin, ß-sitosterol, stigmasterol, tanin, sulfur, dan potassium chlorida. Akar bandotan mengandung minyak asiri, alkaloid, dan kumarin (Anonim, 2003). Djauhariya dan Hernani (2004) menyatakan bahwa bandotan mengandung alkaloid, steroid, kumarin dan terpenoid. Dalam pengobatan, bagian tanaman yang biasa digunakan adalah herba (bagian diatas tanah) dan banyak digunakan untuk mengobati sakit perut dan gangguan pencernaan serta juga digunakan untuk membakar lemak tubuh. Magdalena (1993) mendapatkan bahwa ekstrak bandotan pada dosis 80% dapat menyembuhkan luka sama baiknya dengan yodium povidon 10%. Handoko dkk. (2005) melaporkan bahwa penggunaan 5% gulma bandotan memberikan pengaruh yang sama dengan kontrol terhadap penampilan ternak dan dapat menurunkan kadar lemak abdomen yang diduga karena kandungan senyawa aktif yang ada didalamnya.
            
             Gambar 3. Bandotan
Hasil analisis laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi mendapatkan tepung bandotan mengandung zat makanan lebih baik dibandingkan gulma berkhasiat obat lainnya seperti patikan kebo dan sidaguri. Tepung bandotan mengandung 76,21% bahan kering, 10,23% protein kasar, 2,68% lemak kasar, 16,25% serat kasar dan 4.640,33 kkal/kg energi bruto. Tepung patikan kebo mengandung 72,48% bahan kering, 8,93% protein kasar, 2,72% lemak kasar, 18,18% serat kasar dan 5,258,17 kkal/kg energi bruto. Tepung sidaguri mengandung 87,50% bahan kering, 10,04% protein kasar, 2,03% lemak kasar, 25,80% serat kasar dan 4.802,10 kkal/kg energi bruto. Penelitian Haroen dkk. (2009) menyimpulkan bahwa tanaman bandotan dapat digunakan dalam campuran ransum ayam buras sampai taraf 2 % tanpa mempengaruhi penampilan ayam.
Hasil  penelitian pengaruh ekstrak petroleum eter daun bandotan dalam minyak  kelapa terhadap luka terbuka buatan menggunakan metoda Morton yang dimodifikasi. Sebagai hewan percobaan digunakan empat puluh delapan ekor tikus putih betina strain LMR dengan berat badan antara 100 sampai 170 g yang dibagi dalam enam kelompok. Dosis pemeriksaan adalah 20; 40 dan 80% dan sebagai obat  pembanding digunakan povidon yodium. Bahan uji diberikan setiap hari dimulai hari pertama dan pengamatan dilakukan setiap hari sampai hari kesepuluh setelah luka dibuat. Kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diberikan minyak kelapa dan dengan kelompok yang tidak diberikan apa-apa. Persentase penyembuhan luka dianalisa secara statistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun bandotan dosis 20% tidak memberikan efek penyembuhan luka sedangkan dosis 40% memberikan efek penyembuhan luka yang nyata (P < 0,05) pada hari kelima sampai hari kesepuluh. Ekstrak daun bandotan dosis 80% memberikan efek penyembuhan luka yang nyata (P < 0.05) pada hari kedua sampai hari kesepuluh. Peningkatan dosis bahan uji menunjukkan peningkatan efek penyembuhan. Efek penyembuhan luka dari ekstrak daun bandotan dosis 80% tidak berbeda nyata dengan povidon yodium 10%.
  1. Bawang Merah (Allium ascolanium L).
Telah dilakukan penelitian untuk melihat mekanisme sari air bawang merah (Allium ascolanicum L.) dalam melindungi hati, terhadap keracunan CCI4 pada tikus. Hasil penelitian menunjukkan  bahwa sari air bawang merah mengandung zat yang dapat melindungi hati dari kerusakan akibat CCl4, dengan cara mencegah pembentukan lemak hati dari serangan radikal bebas.
  1. Ekstrak Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val).
Penggunaan ekstrak rimpang kunyit dalam dosis 0,00 atau 5,00 atau 20,00 m/kg bb pada mencit hamil umur kehamilan 0 atau 1 atau 2 hari mempengaruhi perkembangan folikel ovarium.
  1. Ekstrak Daun Dadap Ayam (Erythrina orientalis Linn).
Hasil sari rebusan, fraksi kloroform, dan fraksi sisa ekstrak daun dadap ayam dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aibus, Staphylococcus aureus, Streptococcus beta hemolyticus dan Pseudomonas aeruginosa.
  1. Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa (L) Lamk)
Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa (L) Lamk) digunakan oleh masyarakat sampai saat ini masih terbatas perlakuan pada manusia untuk mengatasi gangguan pencernaan, kanker, radang usus buntu, mengobati penyakit akibat infeksi oleh mikroba (bakteri, protozoa dan jamur) serta mengatasi keracunan (Dalimartha, 2002). Rumput mutiara secara in vitro terbukti memiliki aktivitas sebagai antibakteri diantaranya terhadap bakteri Escherichia coli. Aktivitas paling aktif dijumpai dalam fraksi etil asetat asam dan etil asetat basa diikuti dengan fraksi methanol dan n-heksan (Nurhayati, dkk., 2006). Anonim (2002); Djauhariya dan Hernani (2004) menyatakan bahwa rumput mutiara mengandung senyawa hentriacontan, stigmasterol, asam ursolat, asam oleonat, ß-sitosterol, sitisterol, D-glukosida, p-asam kumarat, flavonoid, tannin dan kumarin. Pada umumnya senyawa alkaloid, flavonoid dan terpenoids memiliki kemampuan sebagai antimikroba (antibakteri, antijamur dan antivirus). Sudarsono (1999) menemukan bahwa herba Hedyotis corymbosa(L.) Lamk.  tidak mengandung Kofein tetapi mengandung paling sedikit 5 senyawa iridoid, satu di antaranya adalah Asperulosid. Hsu (1998) melaporkan bahwa kemungkinan terdapatnya senyawa tertentu dalam rumput mutiara yang dapat menghambat perkembangan tumor. Nurhayati dan Latief (2008; 2009) menemukan bahwa senyawa yang aktif menghambat pertumbuhan bakteri E coli secara in vitro adalah dari kelompok alcohol (4-metil-2-en-heksanol), kelompok steroid (stigmasta-5,22-dien-3-ol) dan kelompok keton (tersier butil isopropil keton). Dari ketiga kelompok senyawa tersebut yang paling aktif menghambat pertumbuhan bakteri E. coli adalah kelompok keton.
  1. Mengkudu atau Pace (Morinda citrifolia)
Mengkudu atau pace atau Noni (Morinda citrifolia) merupakan tumbuhan asli Indonesia yang pertumbuhannya sangat cepat yaitu pada umur 1,5 – 2 tahun sudah dapat menghasilkan buah pertama. Mengkudu lebih dikenal sebagai tanaman pekarangan dan digunakan hanya untuk kebutuhan pengobatan keluarga. Banyaknya penggunaan mengkudu sebagai tanaman obat dikarenakan mengkudu mengandung sejumlah zat aktif yang secara sinergi menghasilkan efek yang baik bagi kesehatan tubuh seperti anti stress (Li dkk., 2001), anti bakteri (Leach, dkk., 1988) dan anti kanker (Furusawa, 2003; Johnson dkk., 2003). Bangun dan Sarwono (2002) melaporkan bahwa zat anti bakteri yang terkandung didalam buah mengkudu antara lain antrakuinon, acubin dan alizarin. Zat zat ini dapat digunakan untuk mengatasi masalah pencernaan seperti radang saluran pencernaan. Wang dkk. (2002) melaporkan bahwa didalam tanaman mengkudu terkandung berbagai senyawa aktif yang berfungsi sebagai antibakteri Acubin, L-Asperuloside, Alizarin (didalam buah), Anthraquinone (di akar) untuk melawan bakteri Pseudomonas aeruginosa, Stapilococcus aureus, Proteus morgaii, Bacillus subtilis, Escherichia coli, Salmonella thyposa), dan scolopetin yang dapat menghambat aktivias E.Coli.
Selain mengandung zat aktif tersebut, buah mengkudu juga mengandung zat zat nutrisi dan energi yang dibutuhkan oleh tubuh seperti protein, xeronin dan precursor xeronin (proxeronin). Proxeronin akan diubah menjadi xeronin didalam usus oleh enzim proxeronase dan zat zat lain.  Selanjutnya xeronin akan diserap oleh sel sel tubuh guna mengaktifkan protein protein yang tidak aktif, mengatur struktur dan bentuk sel yang tidak aktif. Oleh karena itu buah mengkudu dapat digunakan sebagai pakan ternak (Nelson, 2003). Hasil analisis laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi (2004) ditemukan bahwa tepung buah mengkudu mengandung 87,10 % bahan kering, 9,02 % protein kasar dan 4382 kkal/kg Gross energi. Akan tetapi serat kasar yang dikandungnya juga cukup tinggi yaitu 24,99 %. Jus buah mengkudu mengandung protein 11,6 % (Wina dkk., 2002) sedangkan tepung buah mengkudu hanya 5,8 % (CTAHR, 2003) dan 9,02 % (Hasil analisis laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi, 2004). Penggunaan mengkudu baik dalam bentuk tepung dalam ransum maupun jus dalam air minum pada level 5 % belum mempengaruhi penampilan ternak tetapi pemberian lebih dari 5% dalam ransum (Nurhayati dan Nelwida, 2010) atau lebih dari 7,5% dalam air minum cenderung menurunkan bobot badan (Nurhayati, 2008)
  1. Lamtoro Gung (Leucaena leucocephala).
Dalam dunia  peternakan lamtoro gung mempunyai potensi yang besar sebagai sumber makanan ternak, karena lamtoro gung kaya akan gizi. Kandungan zat-zat makanan yang terdapat pada biji lamtoro gung antara lain: protein dan asam lemak. Isolasi senyawa kimia dari biji lamtoro gung ini dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan Soxhlet dengan pelarut n- heksana. Selanjutnya sisa bubuk sampel dikeringkan, setelah itu disoxhlet kembali dengan menggunakan pelarut metanoi. Fraksi n-heksana yang diperoleh dilakukan dengan menggunakan kolom kromatografi melalui 2 cara, yaitu yang satu tanpa pemberian karbon aktif dan yang lainnya dengan pemberian karbon aktif. Fraksi metanol kemudian diekstraksi dengan menggunakan pelarut n-heksana sebanyak 3 kali. Hasil ekstrak metanoi tersebut kemudian dipekatkan dan dihasilkan ekstrak kasar metanoi. Ekstrak kasar metanoi tersebut kemudian ditentukan karbohidratnya dengan kromatografi cair bcrkine  didefinisikan komponen karbohidrat yang terdapat dalam ekstrak kasar metanoi,  yaitu maltosa, galaktosa dan glukosa.
  1. Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus Miq).
Tanaman kumis kucing atau Orthosiphon aristatus Miq  merupakan salah satu tanaman obat-obatan yang sudah terkenal di dalam negeri dan luar negeri. Kandungan utama yang dikenal ialah kalium dan saponin, tetapi akhir-akhir ini telah diketahui bahwa ada komponen yang bersifat anti bakteri diantaranya yang paling dikenal ialah sinensetin.Dari hasil percobaan ini diketahui bahwa kadar sinensetin yang tertinggi ialah dalam daun kumis kucing tua yang berbunga ungu yang berasal dari K.P. Cibinong (0,365%, sedangkan yang terkecil berasal dari daun muda tanaman berbunga putih dari K.P. Cibinong (0,095%).


6.        Daftar Pustaka

Allison, M.J. 1985. Anaerobic oxalate-degrading bacteria of the gastrointestinal tract. in: Plant Toxicology - Proceedings of the Australia-USA Poisonous Plants Symposium, Brisbane, Australia, May 14-18, 1984, pp. 120-126.
Allison, M.J. Mayberry, W.R., McSweeney, C.S. and Stahl, D.A. 1992. Synergistes jonesii, gen. nov., sp. nov.: a rumen bacterium that degrades toxic pyridinediols. Systematic and Applied Microbiology 15, 522-529.
Anggorodi, R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Anonim, 2003. Bandotan (Ageratum conyzoides L.). Leaflet BPPT, Jakarta. Artikel  internet. http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=203 - 22k Downloaded 10 – 11 – 2008.
Anonimous. 2002. Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa (L) Lamk.). Leaflet BPPT, Jakarta.
Anonimous. 2004. Rumput mutiara mengaktifkan sirkulasi darah. Republika 14 September 2004.
Bamualim, A. 1984. The nutritive value of Leucaena leucocephala as a feed for ruminants. PhD thesis, James Cook University of North Queensland, 167 pp.
Bangun, A.P. dan Sarwono, B. 2002. Khasiat dan Manfaat Mengkudu. AgroMedia Pustaka, Jakarta.
Barry, T.N. and Blaney, B.J. 1987. Secondary compounds of forages. In: Hacker, J.B. and Ternouth, J.H. (eds), Nutrition of Herbivores. Academic Press, Australia, pp. 91-119.
Belitz, H.-D. and W. Grosch, (Eds.). 1987. Food Chemistry. Springer Verlag, Berlin.
Blunt, C.G. 1976. Preliminary cattle grazing trials on irrigated Leucaena leucocephala and pangola grass in the Ord Valley N.W. Australia. Proceedings of the Australian Society of Animal Production 11, 10.
Blunt, C.G. and Jones, R.J. 1977. Steer liveweight gains in relation to the proportion of time on Leucaena leucocephala pastures. Tropical Grasslands 11, 159-164.
Bray, R.A., Hutton, E.M. and Beattie, W.M. 1984. Breeding leucaena for low-mimosine: field evaluation of selections. Tropical Grasslands, 18, 194-198.
Cheeke, P.R. 1989. Toxicants of Plant Origin Volume I Alkaloids. Florida: CRC Press, Inc.
_______________. Toxicants of Plant Origin Volume IV Phenolic. Florida: CRC Press, Inc.
Concorn, J.M., (Ed.). 1988. Food Toxicology, Part A and Part B. Marcel Dekker Inc., New York.
Cox, R.I. 1985. Immuno physiological control of phyto-oestrogen toxicity. In: Plant Toxicology - Proceedings of the Australia-USA Poisonous Plants Symposium, Brisbane, Australia, May 14-18, 1984, pp. 98-108.
CTAHR (College of Tropical Agriculture and Human Resources). 2003. Nutritional analysis of Hawaiian Noni (Noni fruit powder). Internet article downloaded on September 15, 2004. http://www.ctahr.hawaii.edu/noni/Research/nutritional_analysis.asp
Culvenor, C.C.J. 1970. Toxic plants - a re-evaluation. Search 1, 103-110.
Dalimartha, S. 2002. Tumbuhan obat untuk mengatasi keputihan. Cetakan II. Trubus Agriwidya, Jakarta.
Djauhari, E. dan Hernani. 2004. Gulma berkhasiat obat. Seri Agrisehat. Penebar Swadaya, Jakarta.
Dominguez-Bello, M.G. and Stewart, C.S. 1990. Degradation of mimosine, 2,3-dihydroxy pyridine and 3 hydroxy-4(1H) - pyridone by bacteria from the rumen of sheep in Venezuela. FEMS Microbial Ecology 73, 283-289.
Elliott, R. and McMeniman, N.P. 1987. Supplementation of ruminant diets with forage. In: Hacker, J.B. and Ternouth, J.H. (eds), The Nutrition of Herbivores. Academic Press, Australia, pp. 409-428.
Everist, S.L. 1974. Poisonous Plants of Australia. Angus and Robertson, Sydney, 684 pp.
Fennema, O.R., (Ed.). 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York.
Furusawa, E. 2003. Anti-cancer activity of Noni fruit juice against tumors in mice. Proceedings of the 2002 Hawai’I Noni Conference. University of Hawaii at Manoa, College of Tropical Agriculture and Human Resources : 23 – 24.
Gartner, R.J.W. and Hurwood, I.S. 1976. The tannin and oxalic acid content of Acacia aneura (mulga) and their possible effects on sulphur and calcium availability. Australian Veterinary Journal 52, 194-196.
Gartner, R.J.W. and Niven, D.R. 1978. Studies on the supplementary feeding of sheep consuming mulga (Acacia aneura). 4. Effect of sulphur on intake and digestibility and growth and sulphur content of wool. Australian Journal of Experimental Agriculture and Animal Husbandry 18, 768-772.
Gibson, G.G. and R. Walker, (Eds.). 1985. Food Toxicology — Real or imaginary problems?. Taylor and Francis, London.
Gosting, D.C., (Ed.). 1991. Food safety 1990; an annotated bibliography of the literature. Butterworth-Heinemann, London.
Handoko, H., Nelwida, dan Nurhayati. 2005. Pengaruh penggunaan gulma obat dalam ransum ayam pedaging terhadap kandungan  lemak abdomen. Seminar hasil penelitian dosen Fakultas Peternakan Universitas Jambi, Jambi.
Haroen, U., Nurhayati, Insulistyowati, A., Berliana, S., dan Nelwida. 2009. Pemanfaatan Limbah Penetasan Telur dan Bandotan (Ageratum conyzoides L) untuk Meningkatkan Daya Tahan Tubuh dan Performans Ayam Buras. Laporan Penelitian Hibah Strategis Nasional, Universitas Jambi. Jambi.
Hathcock, J.N., (Ed.). 1982. Nutritional Toxicology, Vol. I. Academic Press, London.
Hegarty, M.P. 1982. Deleterious factors in forages affecting animal production. In: Hacker, J.B. (ed.), Nutritional Limits to Animal Production from Pastures. Commonwealth Agricultural Bureaux, Farnham Royal, UK, pp. 133-150.
Hegarty, M.P., Lee, C.P., Christie, G.S., Court, R.D. and Haydock, K.P. 1979. The goitrogen 3-hydroxy-4(1H)-pyridone, a ruminal metabolite from Leucaena leucocephala: Effects in mice and rats. Australian Journal of Biological Science 32, 27-40.
Hegarty, M.P., Schinckel, P.G. and Court, R.D. 1964. Reaction of sheep to the consumption of Leucaena glauca and to its toxic principle mimosine. Australian Journal of Agricultural Research 15, 153-167.
Holmes, J.H.G., Humphrey, J.D., Walton, E.A. and O'Shea, J.D. 1981. Cataracts, goitre and infertility in cattle grazed on an exclusive diet of Leucaena leucocephala. Australian Veterinary Journal 57, 257-261.
Hsu, H.Y. 1998. Tumor inhibition by several components extracted from Hedyotis corymbosa and Hedyotis diffusa. The International Symposium on the Impact of Biotechnology on Prediction, Prevention and Treatment of Cancer. Nice, France. October 24 - 27, 1998.
Johnson, A., Hemscheidt, S.T. dan Csiszar, W.K. 2003. Cytotoxicity of water and ethanol extracts of Morinda citrifolia (L) against normal epithelial and breast cancer cell lines. Proceedings of the 2002 Hawai’I Noni Conference. University of Hawaii at Manoa, College of Tropical Agriculture and Human Resources : 22.
Jones, R.J. 1981. Does ruminal metabolism of mimosine explain the absence of Leucaena toxicity in Hawaii? Australian Veterinary Journal 57, 55-56.
Jones, R.J. 1985. Leucaena toxicity and the ruminal degradation of mimosine. In: Plant Toxicology - Proceedings of the Australia-USA Poisonous Plants Symposium, Brisbane, Australia, May 14-18, 1984, pp. 111-119.
Jones, R.J. and Bray, R.A. 1983. Agronomic Research in the Development of Leucaena as a Pasture Legume in Australia. In: Leucaena Research in the Asian-Pacific Region. Proceedings of a workshop, Singapore, November 1982, pp. 41-48.
Jones, R.J. and Jones, R.M. 1982. Observations on the persistence and potential for beef production of pastures based on Trifolium semipilosum and Leucaena leucocephala in subtropical coastal Queensland. Tropical Grasslands 16, 24-29.
Jones, R.J. and Lowry, J.B. 1984. Australian goats detoxify the goitrogen 3-hydroxy-4(1H) pyridone (DHP) after rumen infusion from an Indonesian goat. Experientia 40, 1435-1436.
Jones, R.J. and Lowry, J.B. 1990. Overcoming problems of fodder quality in agroforestry systems. In: Avery, M.E., Cannell, M.G.R. and Ong, C.K. (eds), Applications of Biological Research in Asian Agroforestry. Winrock International, Morrilton, Arkansas, USA, pp. 259-275.
Jones, R.J. and Megarrity, R.G. 1983. Comparative toxicity responses of goats fed on Leucaena leucocephala in Australia and Hawaii. Australian Journal of Agricultural Research 34, 781-790.
Jones, R.J. and Winter, W.H. 1982. Serum thyroxine levels and liveweight gain of steers grazing Leucaena pastures. Leucaena Research Reports 3, 2-3.
Jones, R.J., Blunt, C.G. and Nurnberg. 1978. Toxicity of Leucaena leucocephala. The effect of iodine and mineral supplements on penned steers fed a sole diet of Leucaena. Australian Veterinary Journal 54, 387-392.
Jones, R.J., Seawright, A.A. and Little, D.A. 1970. Oxalate poisoning in animals grazing the tropical grass Setaria sphacelata. Journal of the Australian Institute of Agricultural Science 36, 41-43.
Jurgens, M. H., 1997. Animal feeding and Nutrition. 8th edition. Kendall/Hunt publishing company. Dubuque, Iowa, USA.
Kumar, R., 2003. Anti-nutritive factors, the potential risks of toxicity and methods to alleviate them. http://www.fao.org/DOCREP/003/T0632E/T0632E10.htm.
Leach, A.J., Leach, D.N. dan Leach, G.J. 1988. Antibacterial activity of some medicinal plants of Papua New Guinea. Sci. New Guinea 14 : 1 – 7.
Li, Y-F., Yuan, L., Xu, Y-K., Yang, M., Zhao, Y-M. and Luo, Z-P. 2001. Antistress effect of oligosaccharides extracted from Morinda officinalis in mice and rats. Acta Pharmacol. Sin. 22 (12) : 1084 – 1088.
Lowry, J.B., Maryanto, N. and Tangendjaja, B. 1983. Autolysis of mimosine to 3-hydroxy-4(1H) pyridone in green tissues of Leucaena leucocephala. Journal of the Science of Food and Agriculture 34, 529-533.
Lu, C,F. 1985. Basic Toxicology: Fundamentals, Terget Organs and Risk Assessment. Toronto: McGraw-Hill International Book Company
Magdalena, E. 1993. Tanaman Obat Keluarga. Penebar Swadaya, Jakarta.
Matthew, J., Brooker, J.D., Clark, K., Lum, D.K. and Miller, S.M. 1991. Isolation of a ruminal bacterium capable of growth on tannic acid. Australian Society for Microbiology. Annual Scientific Meeting, Gold Coast, Australia Poster No. 59.
Nelson, S.C. 2003. Morinda citrifolia L. Internet article version 2003.11.29 of Permanent Agriculture Resources (PAR) Holualoa, Hawaii. http://www.agroforestry.net
Nurhayai dan Nelwida. 2010. Broiler chicken response on the ration containing Noni (Morinda citrifolia) Meal. Jurnal Penelitian Universitas Jambi seri Sains. Vol 12 No. 2 Juli 2010 Hal. 35 - 41. ISSN : 0852-8349.
Nurhayati dan M. Latief. 2008. Pemanfaatan Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa (L) Lamk) sebagai Feed Additive dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli di Dalam Saluran Pencernaan Ayam Pedaging. Laporan Penelitian Fundamental. Dibiayai oleh Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional dengan Surat Perjanjian Nomor 007/SP2H/PP/DP2M/III/2008 Tanggal 6 Maret 2008.
Nurhayati dan M. Latief. 2009. Isolasi Senyawa dan Uji Antibakteri Ekstrak Etil Asetat Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa  L (Lamk)) Terhadap Bakteri Escherichia. Jurnal Bahan Alam Indonesia 6 (6) : 243 – 246.
Nurhayati, M. Latief dan H. Handoko, 2006. Uji Antimikroba Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa) terhadap Bakteri dan Jamur Penyebab Penyakit pada Ternak Unggas. Journal Biosfera 23 (3) : 137 – 143.
Nurhayati. 2008. Pengaruh pemberian jus buah mengkudu (Morinda citrifolia) dalam air minum terhadap penampilan ayam broiler jantan. Jurnal Agripet Vol. 8 No. 1 April 2008. Hal. 39 – 44. ISSN : 1411 – 4623.
Pratchett, D., Jones, R.J. and Syrch, F.X. 1991. Use of DHP-degrading rumen bacteria to overcome toxicity in cattle grazing irrigated leucaena pastures. Tropical Grasslands 25, 268-274.
Quirk, M.F., Bushell, J.J., Jones, R.J., Megarrity, R.G. and Butler, K.L. 1988. Live-weight gains on leucaena and native grass pastures after dosing cattle with rumen bacteria capable of degrading DHP, a ruminal metabolite from leucaena.Journal of Agricultural Science (Cambridge) 111, 165-170.
Raurela, M. and Jones, R.J. 1985. Degradation of DHP in cattle in Papua New Guinea. Leucaena Research Reports 6, 68-69.
Reddy, N.R., M.D. Pierson. 1994. Reduction in antinutritional and toxic components in plant foods by fermentation, Food Res. Int., 27, 281–290.
Rosenthal, G.A. and Janzen, D.H. 1979. Herbivores: their Interaction with Secondary Plant Metabolites. Academic Press, New York 718 pp.
Sukria, AH dan Krisnan, R. 1999. Sumber dan Ketersediaan Bahan Baku Pakan di Indonesia. Bogor: IPB Press.
Tannenbaum, S.R., (Ed.). 1979. Nutritional and safety aspects of food processing. Marcel Dekker Inc., New York.
Wang, J., Yang, J.H. and Jones, R.J. 1987. Chinese cattle detoxify the leucaena toxin after Australian rumen fluid infusion. In: Proceedings 4th Annual Conference of Chinese Grassland Association, Nanning, Guangxi, November 12-17, 1987.
Wang, M.Y., West, B.J., Jensen, C.J., Nawicki, D., Su, C., Palu, A.K. dan Anderson, G. 2002. Morinda citrifolia (Noni) : A literature review and research advances in Noni research. Acta Pharmacol. Sin. 23 (12): 1127 – 1141.
Wildin, J.H. 1985. Tree Leucaena - Permanent High Quality Pastures. Queensland Department of Primary Industries, Rockhampton, 8 pp.
Wina, E., Muetzel, S., Hoffman, E., Makkar, H.P.S. and Becker, K. 2002. Inclusion of several Indonesian medicinal plants in in vitro rumen fermentation and their effects on microbial population structure and fermentation products. Deutscher Tropentag October 2002, Witzenhausen, Germany.

Yatno. 1993. Penggunaan kacang kedelai hasil dari beberapa cara pemanasan terhadap bobot organ pencernaan ayam broiler fase awal [skripsi]. Jambi: Fakultas Peternakan Unversitas Jambi.

2 komentar:

  1. Sangat bagus dan bermanfaat. Ijin copas untuk menambah ilmu ya... Thanks.

    BalasHapus
  2. Neutral Protease AF GMP Grade is manufactured according to cGMP guidelines using a production process completely free of animal-based components. In this way the introduction of any potential animal-derived pathogen is excluded. protease

    BalasHapus